REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jika seseorang mempelajari ilmu-ilmu Islam, umumnya mereka kerap bersinggungan dengan fikih dan juga hadits. Sebetulnya, kedua aspek itu saling memiliki hubungan satu sama lain, apa saja?
Yusni Amu Ghozaly dalam buku Fiqh Al Hadits menjelaskan, antara fikih dengan hadits itu ibarat dua sisi mata uang tak dapat dipisahkan. Selain mayoritas hadits terkait dengan masalah hukum, hukum Islam sendiri lebih banyak merujuk pada hadits daripada Alquran.
Hal itu dikarenakan bahwa ayat-ayat hukum dalam Alquran, selain sedikit, juga mayoritas masih bersifat mujmal (umum). Dalam kondisi ini, tentu hadits lebih berperan dalam memerincinya.
Oleh karena hukum Islam lebih sering merujuk pada hadits, maka dapat disimpulkan bahwa fikih memiliki hubungan yang otomatis dan erat dengan hadits. Bahkan, fikih adalah hasil istinbath dari hadits itu sendiri sehingga perbedaan seputar sanad dan matan berpengaruh pada ikhtilaf di antara fuqaha.
Contohnya ketika hendak sujud, para fuqaha berbeda pendapat; ada yang mengatakan bahwa yang benar adalah kedua lutut menyentuh tanah terlebih dahulu daripada kedua tangan. Sementara itu, yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah kedua tangan menyentuh tanah terlebih dahulu daripada kedua lutut.
Perbedaan pendapat itu dikarenakan adanya dua hadits yang berbeda. Yakni hadits riwayat ad-Darimi dan hadits riwayat Ahmad. Contoh dua hadits tersebut tidak menitikberatkan pada ikhtilaf fuqahanya, tetapi menegaskan betapa hubungan antara fikih dengan hadits itu sangat erat.
Bahkan akibat perbedaan sanad dan matan dari dua hadits yang pada hakikatnya sama—karena membahas satu tema—terjadi ikhtilaf pendapat di antara para fuqaha.
Menurut Al A’masy, hubungan antara ahli hadits dengan fuqaha itu seperti hubungan antara apoteker dengan dokter. Dalam analogi ini, apoteker adalah ahli hadits dan dokternya adalah fuqaha.
Terlepas dari konteks dan makna di baliknya, ungkapan di atas menunjukkan bahwa antara fikih dengan hadits memiliki hubungan mutual, antara satu dengan yang lain saling membutuhkan.
Imam as-Syaukani pernah berkata bahwa ilmu fikih itu diambil dari sunnah. Oleh karena itu, seseorang yan belajar fikih atau bahkan yang sudah mendalami ilmu ushul fikih harus mengetahui hadits dan ilmu hadits sampai benar-benar konsisten dan paham syarat berhujah.
Tujuannya adalah agar seseorang tidak terlalu berlebihan dalam menggunakan raktu saat berhujah atau asal-asalan dalam menjadikan hadits sebagai dalil hukum tanpa tahu kualitasnya.
Baca juga: Tujuh Kerugian Ekonomi Zionis Israel Akibat Agresinya di Jalur Gaza
Padahal, hadits adalah sumber utama dalam istinbath dan ber-istidhlal. Keduanya mengharuskan seseorang tahu kualitas suatu hadits, antara yang shahih dengan yang dhaif.
Menurut Ibnu Shalah, hadits adalah sumber dari banyak sekali disiplin ilmu dalam Islam. Termasuk salah satunya adalah fikih. Saking utamanya kedudukan hadits ini, membuat orang yang mengabaikannya akan terjerumus pada banyak kesalahan. Baik itu dari ahli fikih atau ahli ilmu lainnya.
Sebaliknya, ahli hadits juga tidak boleh mengabaikan fikih dan ushul fikih karena keduanya adalah sarana untuk memahami hadits. Quthb ar-Raisuni pernah berkata, “Ahli hadits yang tidak mengetahui fikih seperti orang yang beternak kerang tapi tidak mampu mengeluarkan Mutiara yang ada di dalamnya. Sehingga apa gunanya pandai menilai sahih suatu hadits jika tidak kita terapkan fikih haditsnya—yakni faedah-faedahnya?”