Rabu 29 Nov 2023 15:15 WIB

Gaza Hadapi Lonjakan Penyakit Diare pada Anak-Anak

Kasus diare pada anak berusia lima tahun ke atas melonjak lebih dari 100 kali lipat.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza mengantri untuk mendapatkan air di kamp pengungsian PBB di kota selatan Khan Younis, Jalur Gaza, Ahad, (19/11/2023).
Foto: AP Photo/Fatima Shbair
Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza mengantri untuk mendapatkan air di kamp pengungsian PBB di kota selatan Khan Younis, Jalur Gaza, Ahad, (19/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan lonjakan penyakit menular dan diare pada anak-anak di Gaza. Otoritas kesehatan Gaza mengatakan, lebih dari 15 ribu orang meninggal dunia dalam pengeboman Israel dan sekitar 40 persen di antaranya anak-anak.

“Pada akhirnya kita akan melihat lebih banyak orang meninggal karena penyakit daripada yang kita lihat akibat pengeboman jika kita tidak mampu mengembalikan (menyatukan) sistem kesehatan ini,” kata Margaret Harris dari WHO pada briefing PBB di Jenewa.

Baca Juga

Harris menegaskan kekhawatirannya mengenai peningkatan penyakit menular, khususnya diare pada bayi dan anak-anak di Gaza. Menurut dia, kasus diare pada anak-anak berusia lima tahun ke atas melonjak hingga lebih dari 100 kali lipat dari tingkat normal pada awal November.

“Semua orang di manapun kini mempunyai kebutuhan kesehatan yang sangat mendesak karena mereka kelaparan karena kekurangan air bersih dan (mereka) berdesakan,” ujar Harris.

Berdasarkan ketentuan jeda pertempuran, Israel mengizinkan lebih banyak bantuan mengalir ke Gaza termasuk makanan, air, dan obat-obatan. Namun, lembaga bantuan mengatakan bantuan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar.

James Elder, juru bicara Badan Anak-anak PBB di Gaza, mengatakan, rumah sakit di wilayah tersebut penuh dengan anak-anak yang menderita luka bakar dan pecahan peluru serta gastroenteritis karena meminum air kotor. “Saya bertemu banyak orang tua. Mereka tahu persis apa yang dibutuhkan anak-anak mereka. Mereka tidak memiliki akses terhadap air bersih dan ini melumpuhkan mereka,” katanya.

Elder melihat seorang anak dengan sebagian kakinya yang telah terputus akibat serangan Israel. Anak itu tergeletak di lantai rumah sakit selama beberapa jam, tanpa mendapat perawatan karena kurangnya tenaga medis. 

Anak-anak lain yang terluka terbaring di kasur darurat di tempat parkir dan taman di halaman Rumah sakit. “Di mana pun dokter harus membuat keputusan yang mengerikan, Anda tahu, siapa yang mereka prioritaskan,” ujar Elder.

Mengutip laporan PBB mengenai kondisi kehidupan para pengungsi di Gaza utara, Harris mengatakan, tidak ada obat-obatan, tidak ada kegiatan vaksinasi, tidak ada akses terhadap air bersih dan kebersihan serta tidak ada makanan.

Dia menggambarkan runtuhnya Rumah Sakit Al Shifa di Gaza utara sebagai sebuah tragedi dan menyuarakan keprihatinan tentang penahanan beberapa staf medisnya oleh pasukan Israel selama konvoi evakuasi WHO.  Hampir tiga perempat rumah sakit, atau 26 dari 36 rumah sakit, telah ditutup seluruhnya di Gaza, karena pemboman atau kekurangan bahan bakar. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement