REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Mohamed Hadid seperti ditarik ke masa lalu saat melihat warga Palestina melarikan diri ke bagian selatan Gaza karena pendudukan Israel. Dia merasa seolah-olah pengalaman ibunya 75 tahun yang lalu terulang kembali dengan jelas.
“Saya tidak ingat apa-apa karena saya baru berusia sembilan hari. Namun apa yang saya lihat di layar sangat memengaruhi saya dan membuat saya merasakan perjuangan yang dialami ibu saya dan kesulitan yang dihadapi untuk membawa saya ke kamp pengungsi hidup-hidup,” ujar ayah dari model Palestina-Amerika Bella dan Gigi Hadid.
Sosok pengusaha itu lahir di Nazareth wilayah utara Galilea selama Perang Israel-Palestina pertama pada 1948. Mohamed menggambarkan bagaimana kelompok-kelompok Yahudi mulai merampas tanah Palestina pada masa itu.
Menurut Mohamed, ayahnya juga menampung dua keluarga Yahudi yang melarikan diri dari Eropa, yang tiba di Pelabuhan Haifa dengan kapal dari Polandia dan Hongaria di rumah mereka di Safed. Ibunya kemudian pergi ke Nazareth untuk melahirkannya dua tahun kemudian, selama Perang Dunia II.
Mohamed menyebutkan ketika dia baru lahir, ibunya bersama anak perempuannya yang berusia dua tahun kembali ke rumah mereka di Safed yang hampir diambil alih oleh pemukim Yahudi. “Safed hampir diambil alih oleh penduduk Yahudi di sana. Ayah saya, seorang profesor di Haifa University, juga tidak ada di rumah. Saat kami sampai di bagian rumah milik ibu saya dan keluarga kami, mereka tidak mengizinkan kami masuk,” ujarnya.
Ibunda Mohamed yang menyadari bahwa mereka kini menjadi pengungsi itu berusaha mengambil selimut dari rumah agar anak-anaknya tidak kedinginan di jalan. Namun, keluarga Yahudi itu tidak mengizinkan mereka masuk, bahkan tidak mengizinkannya mengambil album foto keluarga itu.
Mohamed juga mengatakan, dia dan ayahnya bertemu kembali dengan ibu dan saudara-saudaranya di kamp pengungsi Suriah setelah beberapa hari.
Perjalanan keluarga Hadid ini pun menular ke anak Mohamed yang terus menyuarakan kondisi kemanusian, bukan hanya persoalan Palestina. “Anak-anak saya mengikuti naluri mereka tentang alam dan apa yang terjadi pada manusia di dunia," katanya.
Mohamed mengatakan, mereka telah berkontribusi terhadap permasalahan ini selama bertahun-tahun, mulai dari bencana gempa bumi di Turki, kelaparan di Afrika, tunawisma di Asia Tenggara, dan pembangunan sekolah untuk UNICEF.
"Mereka setengah Palestina karena saya orang Palestina. Hal ini tentu saja menciptakan ketertarikan pada mereka tentang masalah ini," kata Mohamed merujuk pada unggahan putri yang seorang model terkenal.
Mohamed juga menyebutkan, banyak surel ancaman dan kebencian yang diterima keluarga tersebut atas suara yang mereka perdengarkan ke publik. "Kami menerima banyak ancaman. Saya menerima banyak surel kebencian. Nomor telepon kami, nomor telepon saya dan putri saya, telah dibagikan secara daring. Kami telah menerima berbagai panggilan mulai dari ancaman pembunuhan yang penuh kebencian hingga kemungkinan serangan. Kami harus mengubah nomor telepon kami ," ujarnya.
Membahas antisemitisme, Mohamed menyoroti bahwa antisemitisme berasal dari Eropa dan mempengaruhi masyarakat di wilayah tersebut. “Hal ini terjadi baik di Eropa Timur maupun di Barat, terhadap masyarakat di kawasan kami. Namun saya tidak bisa anti-Semit, saya sendiri berasal dari ras Semit. Saya berasal dari tanah tempat Yesus Kristus dilahirkan. Saya tidak bisa melawan diri saya sendiri," ujarnya menjelaskan.
Mohamed menggarisbawahi bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang Palestina adalah sepupu sebagai keturunan Abraham. Meskipun mereka mungkin memiliki perspektif yang berbeda, mereka tidak bisa menjadi musuh.
“Tiga agama bersatu di negeri ini. Oleh karena itu, kita tidak bisa melawan mereka, dan mereka tidak bisa melawan kita,” kata Mohamed.
Salah satu kesedihan terbesar Mohamed di dunia adalah orang-orang tidak dapat kembali ke tanah tempat mereka dilahirkan, hidup atau mati. “Tidak seorang pun boleh mengalami rasa sakit yang menghalangi mereka untuk kembali ke tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, baik dalam hidup atau mati,” katanya.
Meski orang tua dan neneknya ingin dimakamkan di tempat kelahirannya, Mohamed mengatakan, hal itu tidak mungkin dilakukan karena mereka harus berpindah sebagai pengungsi. Neneknya yang tidak bisa dimakamkan di Palestina setelah kematiannya di Pulau Rhodes selama berada di sana.
“Ini adalah cara terdekat yang bisa kami lakukan untuk membawanya ke Palestina,” kata Mohamed. Mohamed harus menguburkan orang tuanya di Amerika Serikat. "Saya juga ingin dimakamkan di tanah tempat saya dilahirkan," ujarnya.