REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL — Pengadilan Kehakiman Uni Eropa, mendukung pembatasan pegawai negeri yang menampilkan simbol agama di tempat kerja. Keputusan ini memicu perdebatan tentang posisi Uni Eropa tentang kebebasan beragama.
Pengadilan Tinggi Uni Eropa telah memutuskan, bahwa otoritas publik di negara-negara anggota dapat melarang karyawan mengenakan tanda-tanda atau simbol dari kepercayaan agama mereka, seperti jilbab dalam Islam.
Pengadilan Kehakiman Uni Eropa (CJEU) mengatakan pada Selasa (28/11/2023), kebijakan netralitas ketat yang dimaksudkan untuk membangun lingkungan administrasi netral dapat dianggap secara objektif dibenarkan oleh tujuan yang sah.
Itu menambahkan bahwa administrasi publik lain juga akan dibenarkan jika memutuskan untuk mengizinkan, secara umum dan tanpa pandang bulu, pemakaian tanda-tanda kepercayaan yang terlihat.
Pengadilan mengatakan, pihak berwenang di negara-negara anggota memiliki margin kebijaksanaan dalam merancang netralitas layanan publik yang ingin mereka promosikan.
“Namun, tujuan ini harus dikejar secara konsisten dan sistematis dan tindakan harus dibatasi pada apa yang benar-benar diperlukan,” kata pengadilan.
Hal tersebut untuk pengadilan nasional guna memverifikasi bahwa persyaratan ini dipenuhi.
Langkah diskriminatif targetkan Muslimah
Dilansir dari TRT World, Rabu (29/11/2023), Kasus ini datang ke CJEU, setelah seorang karyawan dari kotamadya Ans Belgia timur, diberitahu bahwa dia tidak bisa mengenakan jilbab Islam di tempat kerja.
Kotamadya kemudian mengubah persyaratan kerjanya untuk mewajibkan karyawannya untuk mengamati netralitas yang ketat dengan tidak mengenakan tanda-tanda keyakinan agama atau ideologis yang terang-terangan.
Wanita itu kemudian membawa masakah ini ke ranah hukum, dan mengatakan haknya atas kebebasan beragama telah dilanggar.
Eropa telah mengubah jilbab, jilbab yang dikenakan di kepala dan bahu, menjadi masalah diskriminatif di seluruh Eropa selama bertahun-tahun.