Senin 11 Dec 2023 17:21 WIB

KemenPPPA Sebut Film dan Foto Bisa Jadi Sarana Kampanye Perempuan Korban Kekerasan

Film dan foto bisa menjadi medium untuk membangun kesadaran mengenai isu perempuan.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (ilustrasi). Kementerian PPPA menyebut penggunaan film dan foto bisa menjadi sarana kampanye efektif untuk meyampaikan perempuan korban kekerasan.
Foto: Foto : MgRol112
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (ilustrasi). Kementerian PPPA menyebut penggunaan film dan foto bisa menjadi sarana kampanye efektif untuk meyampaikan perempuan korban kekerasan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut bahwa penggunaan medium populer, seperti film pendek dan foto bisa menjadi sarana kampanye yang efektif. Media tersebut diyakini dapat mengangkat perspektif dan pengalaman hidup perempuan, terutama menyampaikan suara perempuan korban kekerasan.

"Penggunaan medium populer, seperti film pendek dan foto menjadi satu langkah penting untuk membangun kesadaran mengenai isu-isu perempuan," kata Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti, dalam keterangan, di Jakarta, Senin (11/12/2023).

Baca Juga

Menurut Eni Widiyanti, film dan foto merupakan media yang sangat kuat untuk membangun empati dan membuat masyarakat bisa melihat perspektif lain dari kehidupan perempuan korban. Berdasarkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021, prevalensi kekerasan fisik dan atau seksual terhadap perempuan usia 15-64 tahun, baik yang dilakukan oleh pasangan maupun selain pasangan menurun dibandingkan tahun 2016, yaitu 33,4 persen menjadi 26,1 persen.

Namun demikian, Eni menilai saat ini belum banyak perempuan yang berani melaporkan kekerasan yang mereka alami. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) 2023 menunjukkan hanya 0,1 persen perempuan yang sudah berani melapor.

"Minimnya perempuan korban yang melapor disebabkan berbagai hal, antara lain takut, menganggap kekerasan yang dialaminya sebagai aib, ada stigma negatif pada diri korban, ketergantungan ekonomi kepada pelaku, kurangnya informasi dan masih terbatasnya akses layanan pengaduan, dan ketidaktahuan bahwa dirinya adalah korban," kata Eni Widiyanti.

Oleh karena itu, Eni Widiyanti mengatakan bahwa perlu upaya lebih lanjut untuk mendorong perempuan korban kekerasan agar berani melapor supaya mendapatkan penanganan yang terbaik dan memberikan efek jera bagi pelaku.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement