Oleh Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis dan Aktivis Perdamaian Aceh
Tampaknya, Aceh ingin mempengaruhi percakapan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam ajang debat pertama calon presiden (Capres) pada Selasa (12/12) lalu. Beberapa jam sebelum acara debat Capres dimulai, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar Rapat Paripurna Peluncuran Laporan Temuan Pelanggaran HAM di Aceh.
Laporan itu ditulis oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, berisi penjelasan detil 5.195 kasus pelanggaran HAM di negeri Serambi Mekah itu. Berupa penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan, dan penghilangan paksa yang terjadi sepanjang 30 tahun konflik bersenjata RI-GAM.
Tentu saja, Aceh tidak berniat melokalisasi percakapan laporan KKR itu untuk diri mereka sendiri. Lagi pula di Republik ini, pelanggaran HAM terjadi dari ujung ke ujung, dari Aceh hingga Papua. Bisakah pengalaman Aceh mengungkapkan pelanggaran HAM masa lalu, menjadi model bagi agenda nasional di masa depan?
Harusnya, itu diperbincangkan dalam Debat Pertama Capres 2024. Dimana HAM menjadi salah satu isu utama di samping Hukum, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Demokrasi dalam tema debat pertama yang dipilih KPU.
Ketiga Capres sayangnya, masih gagap memahami duduk perkara pelanggaran HAM oleh negara. Nyaris semua gagasan yang dipercakapkan bersifat normatif permukaan. Seperti perlunya dialog, keadilan, dan mendengarkan suara korban untuk penegakan HAM di Indonesia.
Prabowo Subianto, Capres nomor urut 2, satu tingkat lebih konservatif karena masih menggunakan kerangka pikir keamanan, pertahanan, dan stabilitas negara dalam mengurai persoalan pelanggaran HAM. Terutama pelanggaran HAM di Papua yang ditanyakan panelis. Artinya, Prabowo mengutamakan keamanan negara di atas segalanya. Peradaban HAM tidak akan tumbuh di Indonesia dengan kerangka pikir seperti itu.
Agak mengejutkan banyak orang, Prabowo memiliki trauma teoritis yang cukup dalam tentang isu HAM. Baginya, selama isu pelanggaran HAM masa lalu ditujukan pada dirinya, itu bersifat tendensius atau politisasi HAM untuk menyerang citra politiknya.
Harus diakui memang, joget Gemoy telah disemarakan seluas mungkin oleh Tim Sukses Prabowo bagian dari strategi memperbaiki citranya yang militeristik, emosional, dan dekat dengan sejarah kekerasan negara di masa lalu. Joget Gemoy membentuk citra Prabowo yang menyenangkan dan riang gembira. Tetapi, caranya mereaksi perdebatan pelanggaran HAM di panggung debat telah meruntuhkan citra itu.
Capres nomor 3, Ganjar Pranowo, mengusulkan pendekatan lain yang lebih dibutuhkan selain pendekatan keamanan dan pertahanan. Ganjar menekankan pentingnya dialog semua pihak untuk didengarkan dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Bukankah gagasan penegakan HAM seperti itu terdengar masih terlalu basa basi?
Anies Baswedan memperhatikan isu HAM lebih serius dibanding kedua calon presiden lainnya. Sialnya, Anies berhenti pada gagasan-gagasan prinsipil belaka. Seperti pentingnya memastikan keadilan dan mendengarkan suara korban, tanpa tahu langkah-langkah strategis apa yang harus diambil pemerintah di masa depan, itu tidak akan banyak membuat perubahan.
Ketiga Capres melupakan tiga hal terpenting dalam penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Pertama, keluarga korban dari Aceh hingga Papua masih menunggu pengungkapan kebenaran dari peristiwa kekerasan yang telah membunuh, menghilangkan, memperkosa, dan menyiksa anggota keluarga mereka.
Keluarga korban punya hak untuk tahu. Bangsa Indonesia juga punya hak untuk tahu kebenaran dari peristiwa itu secara utuh. Tidak perlu ada yang ditutupi dan dilindungi. Pengetahuan kebenaran atau realitas peristiwa itu akan membentuk kesadaran kolektif bangsa Indonesia, terutama para pengelola negara untuk lebih berhati-hati membuat kebijakan dan tindakan di masa depan.