REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar ekonomi syariah dari Universitas Airlangga (Unair), Imron Mawardi, menyoroti posisi Indonesia pada State Global Islamic Economy (SGIE) report dalam lima tahun belakangan. Menurut dia, Indonesia memiliki tren yang baik, terbukti dengan ranking yang terus meningkat secara konstan.
"Pada 2018 Indonesia masih berada di peringkat 10, lalu kemudian naik menjadi lima besar dalam tahun 2019. Kemudian pada tahun 2022, Indonesia berhasil menjajaki peringkat empat, dan terbaru tahun ini masuk dalam tiga besar," kata Imron, Rabu (3/1/2024).
Imron melanjutkan, Indonesia menduduki peringkat nomor tiga dengan skor indeks 68.5 pada SGIE report 2023. Namun demikian, lanjut Imron, skor Indonesia masih tertinggal jauh dari Malaysia yang berada di peringkat pertama dengan skor indeks mencapai 220.
Imron menilai, ketimpangan skor tersebut dikarenakan Indonesia lebih fokus pada pemasaran ketimbang produksi, dalam ekonomi halal. "Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dinar Standard tidak hanya terbatas pada pemasaran saja, tetapi juga bagaimana support suatu negara terhadap halal economy," ujarnya.
Imron menjelaskan, terdapat enam parameter indikator dalam SGIE report. Yaitu islamic finance (keuangan Syariah), halal food (makanan halal), halal vision, halal tourism atau moslem friendly tourism, halal pharmacy and cosmetic, serta halal media and recreation.
Dari keenam indikator penilaian, lanjut Imron, Indonesia memiliki peringkat yang bervariasi dalam SGIE report. Pada halal vision Indonesia memperoleh peringkat tiga. Kemudian pada halal food, Indonesia ada di peringkat 4, media and recreation ada di peringkat 5, serta pada halal pharmacy and cosmetics, islamic finance, kemudian moslem friendly tourism, Indonesia ada di peringkat 6.
Imron pun berharap Indonesia dapat memaksimalkan peluang dan tidak terbatas menjadi pasar produk saja. "Kalau mau konstan, mestinya Indonesia dapat memaksimalkan peluang. Misalnya, yang paling berpotensi adalah bidang halal food-nya. Kalau kita lihat dari sisi size of business di pasar halal dunia terdapat sekitar 62 persen produksi halal food, Indonesia harusnya dapat memaksimalkan kontribusi di situ sebagai produsen," ucapnya.
Imron juga menekankan perlunya peningkatan infrastruktur dan penegakan regulasi guna menunjang potensi tersebut. Indonesia memang telah memiliki UU Jaminan Produk Halal (UU JPH). Namun, kata dia, dalam implementasinya belum terealisasi sepenuhnya.
"Padahal, UU JPH ini merupakan alat supporting dalam meningkatkan kapasitas produk halal Indonesia. Dengan begitu, Indonesia dapat berkontribusi dalam produksi. Saya kira pemerintah harus concern terhadap penegasan regulasi untuk meningkatkan kontribusi Indonesia dalam industri halal dunia," ujar Imron.