WAJIMA -- Pada Jumat (5/1/2024) yang dingin di Wajima, kota di Jepang yang diguncang gempa, Aydin Muhammet (46 tahun) bersama para pekerjanya menyajikan sup hangat dalam mangkuk serta nasi di depan pusat penampungan pengungsi.
Warga Turki bersama pekerja dari perusahaan konstruksi miliknya, berada di Wajima sejak sehari sebelumnya, Kamis petang. Mereka memberikan makanan hangat pertama sejak gempa berkekuatan 7,6 magnitudo pada hari pertama tahun baru 2024.
Bergegas menuju zona bencana di Wajima menjadi panggilan aksi kemanusiaan kedua kalinya bagi Muhammet, setelah gempa besar disertai tsunami di wilayah kepulauan Jepang pada Maret 2011, yang menewaskan 20 ribu orang.
Muhammet yang tinggal di tanah kelahiran istrinya, Jepang selama 30 tahun, merasa mesti bergegas untuk membawa bantuan sejak melihat berita soal dampak gempa pada tahun baru itu. Setelah mempelajari rute, ia segera menuju Wajima.
Ia bersama timnya, tujuh orang yang juga berasal dari Turki dan dua lainnya asal Vietnam, berupaya mendapatkan stok makanan. Mereka berangkat dari rumah di Nagoya, Kamis pagi pukul 03.00, menyingkirkan kekhawatiran kondisi ban kendaraan di tengah jalanan bersalju.
‘’Saya hanya berpikir harus melakukan sesuatu,’’ kata Muhammet, Jumat. Tim dengan lima truk akhirnya tiba 11 jam kemudian setelah mereka menempuh perjalanan 300 km. Dalam keadaan normalnya, waktu tempuhnya hanya setengahnya.
Muhammet bersama timnya segera bekerja menangani semuanya, dari menyiapkan air, pembalut, hingga menyiapkan makanan. ‘’Menempuh perjalanan panjang mestinya membuat kami kelelahan, tetapi saat tiba di sana kami malah bersemangat.’’
Apa yang membuat Muhammet termotivasi? Dia menuturkan, ia merasakan bagaimana perasaan kesepian dan keputusasaan saat korban gempa melihat bantuan tak kunjung datang. Perasaan ini muncul berdasarkan pengalamannya ke daerah bencana.
‘’Saya pernah ke...
‘’Saya pernah ke daerah bencana, maka saya merasakan kebahagiaan korban gempa ketika kami, tim bantuan ada di sini. Hal itu membuat saya ingin terus melakukannya,’’ kata Muhammet yang berbicara dengan bahasa Jepang.
Wajima, kota yang dihuni sekitar 30 ribu orang mengalami kerusakan parah. Rumah dan usaha kolaps. Tiba di daerah bencana tersebut, yang membuat Muhammet sedih adalah tak banyak orang yang menjadi relawan berada di sana.
‘’Hanya ada satu tim berisi 10 orang yang hanya bisa berada di sana selama dua hari. Mesti ada lebih banyak orang lagi di sana untuk melakukan sesuatu untuk para pengungsi,’’ ujarnya. ‘’Saya tahu ini tahun baru, tetapi tak ada waktu untuk rehat.’’
Saat para pengungsi yang kelaparan berjalan untuk mendapatkan makanan pagi yang hangat, seorang lelaki tua mendekat ke Muhammet kemudian memeluknya erat, menunjukkan penghargaan atas apa yang Muhammet lakukan.
‘’Kami sangat berterima kasih,’’ kata Matsuo Yata (72) setelah membawakan nampan sup sayur ke pengungsi lain di aula pengungsian. Aula itu menampung 700 orang. ‘’Makanan panas adalah yang terbaik,’’ katanya menegaskan.
Di sisi lain, Muhammet mengisahkan pengalaman pada 2011. Saat itu ia kurang persiapan, tetapi akhirnya berhasil menemui korban di daerah yang terkena bencana.
Ia juga menyatakan siap menghadapi kemungkinan terburuk di tengah peringatan seismolog, yang mengingatkan gempa besar bisa mengguncang wilayah Tokai, tempat ia tinggal pada 30 tahun mendatang.
Maka sebagai antisipasi, perusahaannya telah menggali sebuah sumur yang mampu menyediakan 400 liter atau 105 galon air per menit. Ia juga menanam padi dan akan mencadangkan sekitar satu ton dari hasil panen di perusahaannya untuk kondisi darurat. (reuters/han)