REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Perang berdarah Israel di Jalur Gaza sudah mencapai hari ke-100 serta menewaskan nyaris 24 ribu orang, dan Palestina sekarang berharap Mahkamah Internasional (ICJ) dapat menghentikan serangan brutal. ICJ juga diharapkan bisa menjatuhkan hukuman atas genosida oleh Israel.
Israel meluncurkan serangan udara dan darat tanpa henti di wilayah kantung Palestina, hingga membuat sebagian besar daerah kantong pantai yang sempit tersebut rusak, sebagai pembalasan atas serangan lintas batas oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober. Serangan mematikan itu menjadikan 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi internal di tengah keterbatasan pangan, air bersih, dan obat-obatan sementara 60 persen infrastruktur di wilayah itu rusak atau hancur, menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Pada saat masyarakat internasional tetap diam atas serangan Israel, Afrika Selatan mengajukan gugatan hukum kepada ICJ dengan membawa tuduhan bahwa Israel melakukan genosida di Jalur Gaza. Israel menyangkal tuduhan tersebut, dengan beralasan bahwa serangan di Jalur Gaza tersebut merupakan "pembelaan diri."
Jika pengadilan dunia itu mengeluarkan perintah agar Israel menghentikan serangan namun tidak dipatuhinya, PBB akan memberikan sanksi.
Kehancuran massal
Serangan Israel telah menghancurkan 69.300 unit rumah dan menghancurkan 290 ribu lainnya, menurut kantor media pemerintah Gaza. Data yang dikeluarkan kantor itu menunjukkan 121 ambulans diserang. Sebanyak 30 rumah sakit, 150 institusi pelayanan kesehatan, dan 53 pusat pelayanan kesehatan terpaksa tutup akibat serangan Israel.
Kantor itu juga mengungkapkan 95 sekolah hancur, 295 rusak, 145 masjid dihancurkan, dan 243 lainnya rusak sebagian oleh serangan gencar Israel. Bahkan gereja tidak luput dari pengeboman Israel. Kantor pemerintah menyebutkan ada tiga gereja di Gaza yang rusak parah, sementara 200 situs arkeologi hancur.
"Sekitar satu juta penduduk tiba di Kota Rafah di Gaza selatan sejak meletusnya perang oleh Israel," kata Wali Kota Gaza Ahmed al-Soufi, dikutip dari laman Anadolu.
"Otoritas kota tidak lagi dapat mengendalikan semua layanan dasar di kota, terutama membersihkan sampah di tengah tingginya jumlah pengungsi," katanya, menambahkan.
Situasi serupa dilaporkan terjadi di kota-kota di Jalur Gaza tengah dan selatan di tengah kekurangan bahan bakar. Keadaan itu menyebabkan timbulnya penyakit di kalangan warga setempat pengungsi, terutama anak-anak.
Kurangnya air bersih membuat para pengungsi dan warga tidak dapat menjaga kebersihan yang dibutuhkan untuk mencegah timbulnya penyakit di tengah ancaman kelaparan di wilayah Palestina. Pekan lalu, UNICEF memberi peringatan bahwa lebih dari 1,1 juta anak-anak terancam akibat konflik yang semakin intensif, kekurangan gizi, dan penyakit di Jalur Gaza. Sektor kesehatan Gaza juga mengalami kelangkaan obat-obatan dan persediaan medis akibat blokade Israel di wilayah kantung tersebut.
Sejak 7 Oktober, Israel telah menutup semua penyeberangan dengan Gaza, sementara penyeberangan Rafah antara wilayah Palestina dan Mesir hanya dibuka sebagian untuk masuknya bantuan secara terbatas. Hingga 200 truk dapat memasuki Gaza setiap hari, menurut Gedung Putih --kantor presiden AS. Jumlah itu adalah sebagian kecil dari sekitar 500 pengiriman yang masuk setiap hari sebelum perang, yaitu ketika kebutuhan tidak terlalu mendesak.