Senin 15 Jan 2024 19:46 WIB

50 Tahun Malari, Ekonom: Investasi Asing Merugikan Perlu Diatur Ulang

Investasi asing 9 tahun ini besar, tapi tidak maksimal menyerap tenaga kerja.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Fuji Pratiwi
Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira
Foto: Facebook Bhima Yudhistira
Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Investasi asing yang membawa kerugian di Indonesia dinilai perlu diatur ulang. Hal ini berkenaan dengan tepat 50 tahun peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari yakni demonstrasi besar-besaran menolak investasi asing di Indonesia.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, jika belajar dari peristiwa Malari, penolakan mahasiswa kala itu terjadi karena investasi asing dinilai menciptakan ketimpangan. Selain itu, investasi juga mengakibatkan adanya intervensi asing dalam kebijakan pemerintah yang membuat model ekonomi ke arah menjadi liberal pada era Presiden Soeharto.

Baca Juga

Karena itu, merujuk pada hal tersebut maka investasi asing perlu ditelaah kembali apakah bermanfaat atau justru merugikan ekonomi Indonesia jangka panjang. "Pelajaran dari peristiwa Malari, investasi asing seharusnya bisa mereduksi ketimpangan bukan justru meningkatkan ketimpangan. Investasi bisa menurunkan kemiskinan, bukan investasi yang sekarang justru meningkatkan kemiskinan di daerah masuknya investasi asing," ujar Bhima kepada Republika, Senin (15/1/2024).

Bhima melanjutkan, investasi asing yang masuk ke Indonesia saat ini secara nominal memang meningkat cukup pesat. Namun demikian, ia menyoroti investasi asing yang masuk Indonesia dalam 9 tahun terakhir justru belum berkolerasi terhadap kenaikan serapan tenaga kerja.

"Itu dibuktikan dari setiap 1 dolar investasi yang masuk, ternyata serapan tenaga kerjanya masih sangat kecil, berarti ada isu soal kualitas dan investasinya," ujarnya.

Tak hanya itu, kondisi ini ditambah dengan pemerintah terlalu banyak memberikan insentif perpajakan ke investor asing tanpa melakukan seleksi secara ketat. Khususnya investasi yang harusnya didukung adalah yang bersifat padat karya.

Kemudian, Bhima juga menyoroti investasi asing yang justru mendatangkan kerugian bagi Indonesia baik tidak jalannya hilirisasi pertambangan maupun kerusakan alam. Ia mencontohkan hilirisasi nikel yang 90 persen pengolahannya justru lari ke China. Mestinya, ekspor nikel dilakukan jika sudah berbentuk baterai maupun mobil listrik.

"Tapi ternyata hilirisasi nikel hanya pada sampai pada NPI. Kemudian feronikel yang malah dilepas ke luar negeri. Jadi hilirisasinya juga masih setengah jalan dan hilirisasi ini sebenarnya juga karena ada intervensi asing yang cukup dominan di situ," ujarnya.

Selanjutnya, belum lagi kerusakan alam yang diakibatkan dengan investasi asing yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan. Sehingga menciptakan kerusakan lingkungan akibat eksploitas besar-besaran.

"Kita lihat bagaimana terjadi di Halmahera, Morowali, Konawe itu tingkat kerusakan cukup masif dari ekploitasi sektor pertambangan untuk pasokan hilirisasi nikel. Nah itu juga perlu dicermati karena investasi asingnya tidak ada seleksi, tidak ada pengawasan, kecelakaan kerja yang kemudian terjadi dan sering sekali frekuensinya," ujarnya.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement