REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Antara suhu panas global yang memecahkan rekor dan hujan lebat yang ekstrem, sulit untuk mengabaikan bahwa sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi dengan bumi ini. Dan aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan iklim memiliki peranan besar dalam hal ini.
Gelombang panas selama berpekan-pekan yang dimulai pada Juni 2023 di Texas, Barat Daya AS, dan Meksiko hampir tidak mungkin terjadi tanpa perubahan iklim, demikian hasil sebuah penelitian. Aktivitas manusia juga telah meningkatkan suhu rata-rata sekitar 0,1 derajat Celcius per dekade.
Untuk memberikan gambaran yang lebih utuh, Profesor Ilmu Bumi dan Planet di Washington University, Michael E Wysession telah melakukan analisis yang cukup komprehensif dan menemukan empat faktor pendorong bencana panas dan iklim ekstrem pada 2023. Berikut uraiannya seperti dilansir dari Phys, Kamis (18/1/2024),
1. El Nino
Wysession menjelaskan bahwa El Nino adalah fenomena iklim yang terjadi setiap beberapa tahun sekali ketika air permukaan di Pasifik tropis berbalik arah dan memanas. Hal ini kemudian menghangatkan atmosfer di atasnya, yang memengaruhi suhu dan pola cuaca di seluruh dunia.
Pada dasarnya, atmosfer meminjam panas dari Pasifik, dan suhu global sedikit meningkat. Hal ini misalnya terjadi pada tahun 2016, saat terjadinya El Nino yang kuat. Suhu global meningkat sekitar 0,14 persen secara rata-rata, menjadikan 2016 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat. El Nino lemah juga terjadi pada tahun 2019-2020, sehingga tahun 2020 menjadi tahun terpanas kedua di dunia.
Kebalikan dari El Nino, La Nina, yang melibatkan arus Pasifik yang lebih dingin dari biasanya yang mengalir ke arah barat, menyerap panas dari atmosfer, yang mendinginkan dunia. “Dunia baru saja keluar dari La Nina selama tiga tahun berturut-turut, yang berarti kita mengalami perubahan suhu yang lebih besar,” kata Wysession.
Berdasarkan peningkatan suhu permukaan laut Pasifik pada pertengahan tahun 2023, pemodelan iklim saat ini menunjukkan kemungkinan 90 persen bahwa Bumi sedang menuju El Nino yang kuat sejak tahun 2016.
Dikombinasikan dengan pemanasan yang disebabkan oleh manusia, Wysession memperkirakan Bumi akan segera memecahkan rekor suhu tahunan. Bulan Juni 2023 adalah yang terpanas dalam catatan modern. Bulan Juli 2023 mencatatkan rekor global untuk hari-hari terpanas dan sejumlah besar rekor regional, termasuk indeks panas yang tidak dapat dipahami yaitu 67 derajat Celcius di Iran.
2. Fluktuasi matahari
Matahari mungkin terlihat bersinar dengan kecepatan yang konstan, namun sebenarnya, matahari adalah bola plasma yang mendidih dan bergejolak dengan energi yang memancar berubah-ubah dalam berbagai skala waktu. Matahari perlahan-lahan memanas dan dalam waktu setengah miliar tahun akan mendidihkan lautan di Bumi.
Namun dalam skala waktu manusia, kata Wysession, output energi matahari hanya sedikit bervariasi, sekitar 1 bagian dari 1.000 dalam siklus 11 tahun yang berulang. Puncak dari siklus ini terlalu kecil untuk kita sadari dalam skala harian, namun mempengaruhi sistem iklim Bumi.
“Konveksi yang cepat di dalam matahari menghasilkan medan magnet yang kuat yang selaras dengan sumbu putarannya dan menyebabkan medan ini membalik dan berbalik arah setiap 11 tahun. Inilah yang menyebabkan siklus 11 tahun dalam radiasi matahari yang dipancarkan,” jelas Wysession.
Peningkatan suhu bumi selama solar maximum, dibandingkan dengan output matahari rata-rata, hanya sekitar 0,05 derajat Celcius, kira-kira sepertiga dari El Nino super. Hal yang sebaliknya terjadi selama solar minimum. Namun, tidak seperti perubahan El Nino yang berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi, siklus matahari 11 tahun relatif teratur, konsisten dan dapat diprediksi.
Siklus matahari terakhir mencapai titik minimum pada tahun 2020, sehingga mengurangi efek El Nino 2020 yang tidak terlalu besar. Siklus matahari saat ini telah melampaui puncak siklus sebelumnya yang relatif lemah (yang terjadi pada tahun 2014) dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2025, dengan output energi matahari yang terus meningkat hingga saat itu.