REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nasihat memiliki garis perbedaan dengan membuka aib. Namun nyatanya sering kali seseorang dalam memberikan nasihat justru malah mengungkap aib orang yang dinasihatinya.
Imam Syafii pernah menyampaikan pesan yang tergolong masyhur, tentang rambu-rambu dalam memberikan nasihat. Berikut perkataan Imam Syafii:
قال الإمام الشافعي:
تعمّدني بنصحك في انفرادي وجنبني النصيحة في الجماعهْ
فإن النصح بين الناس نوع من التوبيخ لا أرضى استماعهْ
وإن خالفتني وعصيت قولي فلا تجزع إذا لم تُعط طاعهْ
Artinya:
"Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian.
Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu penghinaan yang aku tidak suka mendengarkannya."
Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku. Maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti."
Agama memang nasihat, tetapi amalan itu juga didasarkan pada niatnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab. Bahwa amalan itu tergantung niatnya.
Karena itu, jika niatnya sudah buruk, maka pemberian nasihat bisa berubah menjadi fadhihah, yakni mengungkap aib ke orang-orang. Allah SWT berfirman:
ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
"Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Mahapengampun." (QS. Al Mulk ayat 2)
Al Fudayl bin Iyad menjelaskan, maksud dari 'yang lebih baik amalnya' ialah yang paling ikhlas dan paling benar'. Artinya, supaya suatu perkara bisa diterima, maka harus ikhlas karena Allah SWT dan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Termasuk dalam memberi nasihat. Ketika memberi nasihat dengan tujuan amar makruf nahi mungkar, maka sudah menjadi kewajiban bagi orang yang menasihati itu untuk mengikuti syarat-syarat yang menjadikan nasihat itu efektif dan berguna.
Pemberian nasihat harus dilakukan dengan cara yang baik, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA berikut ini. Nabi SAW bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
"Sungguh kelembutan tidak akan berada pada sesuatu kecuali ia akan menghiasinya. Sebaliknya, tidaklah dicabut kelembutan itu dari sesuatu, kecuali ia akan menjadikannya buruk." (HR. Muslim)
Karena itu, dalam melakukan suatu perkara yang dimaksudkan untuk kebaikan pun harus dilaksanakan dengan cara yang baik. Dalam hal ini, pemberi nasihat harus mengingat pentingnya beritikad baik atau memperbaiki niatnya, sebagai langkah awal dalam memberikan nasehat yang tulus, bermanfaat dan diridhai Allah SWT.
Baca juga: Golongan yang Gemar Membaca Alquran, Tetapi Justru tidak Mendapat Syafaatnya
Hal tersebut karena mencegah keburukan lebih utama ketimbang mendatangkan manfaat, dan keburukan tidak bisa dicegah dengan keburukan yang lebih besar.
Nasihat harus diniatkan untuk kebaikan, dan untuk mencegah keburukan tanpa menimbulkan keburukan. Maka tak heran jika seorang penasihat haruslah berilmu dan mengamalkan nasihat yang diberikannya. Dia tidak boleh sembarangan mengoceh. Allah SWT berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ
"Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi penerangan." (QS Al Hajj ayat 8)
Sumber: aljazeera