Selasa 23 Jan 2024 12:07 WIB

Mengenal Tobat Ekologis Ala Cak Imin, Dipopulerkan Pertama Kali oleh Paus Fransiskus

Paus Fransiskus menyebut tobat ekologis melalui Ensiklik berjudul Laudato si.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Lida Puspaningtyas
Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 1, Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Foto: Antara
Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 1, Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada debat Pilpres keempat, Ahad (21/1/2024) lalu, calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyinggung soal tobat ekologis. Saat menyampaikan pernyataan tertutup, Cak Imin menyebut kerusakan lingkungan saat ini sudah terjadi dimana-mana, sehingga semua pihak perlu melakukan tobat ekologis.

Tobat ekologis sendiri adalah istilah yang dipopulerkan oleh Paus Fransiskus melalui Ensiklik berjudul Laudato si' yang dikeluarkan pertama kali pada 24 Mei 2015. Mengutip Reuters, edisi 18 Juni 2015, ensiklik Paus Fransiskus ini menyoal tentang kondisi pemanasan global dan menyerukan untuk penyelamatan lingkungan.

Baca Juga

Dalam ensiklik tersebut, Paus Fransiskus menyoroti perubahan iklim dan penyebabnya. Menurutnya, dalam beberapa dekade terakhir, pemanasan global disertai dengan kenaikan permukaan air laut secara terus-menerus telah dirasakan dampaknya seperti cuaca ekstrem. Meskipun penyebab secara ilmiah berbeda setiap fenomena tertentu, tetapi umat ​​manusia diminta untuk mengenalinya dan perlu melakukan perubahan gaya hidup, produksi dan konsumsi untuk memerangi pemanasan global. Paus menyerukan, setidaknya manusia tidak memperparahnya. 

"Memang benar bahwa ada faktor-faktor lain seperti aktivitas gunung berapi, variasi orbit dan poros bumi, siklus matahari, tetapi sejumlah penelitian ilmiah menunjukkan sebagian besar pemanasan global disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, dan lain-lain) yang dilepaskan terutama sebagai akibat dari aktivitas manusia," ujar Paus dalam ensiklik.

Masalah tersebut juga diperparah dengan model pembangunan yang berbasis pada penggunaan bahan bakar fosil secara intensif, yang merupakan inti dari pembangunan dan sistem energi di seluruh dunia. Karena itu, jika kondisi ini diteruskan maka umat manusia akan menyaksikan perubahan iklim luar biasa dan kerusakan ekosistem yang memberikan konsekuensi serius bagi seluruh dunia.

Paus Fransiskus mengatakan, perubahan iklim adalah masalah global yang mempunyai dampak besar mulai lingkungan hidup, sosial, ekonomi, politik dan distribusi barang. Sehingga, dampak terburuknya mungkin akan dirasakan oleh negara-negara berkembang dalam beberapa dekade mendatang.

Paus pun menilai, prediksi hari kiamat tidak bisa lagi ditanggapi dengan ironi. Sebab ancaman kerusakan akan dialami generasi mendatang jika kondisi saat ini terus berlanjut.

"Dengan gaya hidup kita saat ini, tidak lagi berkelanjutan. Hal ini hanya dapat memicu bencana, seperti bencana yang kadang-kadang terjadi di berbagai wilayah di dunia. Dampak dari ketidakseimbangan yang ada saat ini hanya dapat dikurangi melalui tindakan tegas kita, di sini dan saat ini. Kita perlu merenungkan akuntabilitas kita terhadap bencana tersebut, yang harus menanggung konsekuensi yang mengerikan,"kata Paus.

Paus Fransiskus pun menyerukan pembangunan berkelanjutan dan menyoal disparitas kekayaaan. Saat ini nampak jelas tingkat konsumsi di negara-negara maju maupun sektor masyarakat yang lebih kaya dengan kebiasaan gaya hidup membuang-buang telah mencapai tingkat teratas. Sedangkan eksploitasi bumi telah melampaui batas yang dapat diterima dan masih belum menyelesaikan masalah kemiskinan.

Paus pun menyoroti disparitas antara si miskin dan si kaya nampak jelas.

"Kita tidak bisa melihat bahwa beberapa orang terperosok dalam kemiskinan yang menyedihkan dan merosot, tanpa jalan keluar, sementara yang lain sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan harta benda mereka, dengan sia-sia memamerkan superioritas mereka dan meninggalkan begitu banyak sampah yang, jika hal ini terjadi di mana-mana, hal ini akan menghancurkan planet ini," ujarnya.

Paus Fransiskus menyerukan kebijakan penggantian bahan bakar fossil ke sumber energi terbarukan yang menjadi kebutuhan mendesak. Sehingga dalam beberapa tahun ke depan, emisi karbon dioksida dan gas-gas berpolusi tinggi lainnya dapat dikurangi secara drastis.

Namun, ia menyadari komunitas internasional masih belum mencapai kesepakatan yang memadai mengenai tanggung jawab untuk membayar biaya transisi energi ini.

“Kita tahu bahwa teknologi yang berbasis pada penggunaan bahan bakar fosil yang sangat berpolusi – terutama batu bara, juga minyak bumi dan, pada tingkat yang lebih rendah, gas – perlu diganti secara bertahap tanpa penundaan. Sampai ada kemajuan yang lebih besar dalam pengembangan sumber energi terbarukan yang dapat diakses secara luas. energi, adalah sah untuk memilih solusi yang lebih ringan atau mencari solusi jangka pendek," katanya.

Dalam ensiklik itu, Paus Fransiskus juga menyoroti pertemuan-pertemuan tingkat tinggi dunia mengenai lingkungan hidup yang dinilainya tidak memenuhi harapan. Hal ini karena kurangnya kemauan politik, sehingga pertemuan-pertemuan tersebut tidak dapat mencapai kesepakatan global yang benar-benar bermakna dan efektif mengenai lingkungan hidup.

Apalagi, Ia menilai politik yang mementingkan hasil langsung, didukung oleh sektor konsumeris masyarakat, yang mendorong untuk menghasilkan pertumbuhan jangka pendek.

"Sebagai respons terhadap kepentingan pemilu, pemerintah enggan mengecewakan masyarakat dengan tindakan yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi atau menciptakan risiko bgi investasi asing. Miopianya politik kekuasaan menunda masuknya agenda lingkungan hidup yang berpandangan jauh ke depan ke dalam agenda pemerintah secara keseluruhan," katanya.

Paus juga secara komprehensif menyinggung pasar ekonomi baik perusahaan maupun individu yang hanya mengedepankan keuntungan semata tanpa memperhatikan kondisi lingkungan. Paus pun menyerukan pihak yang terobsesi untuk memaksimalkan keuntungan berhenti dan mulai merenungkan kerusakan lingkungan pada generasi mendatang. Ia menilai perlunya menerapkan strategi jual beli 'kredit karbon' yang dapat membantu mengurangi emisi gas pencemar di seluruh dunia. 

"Sistem ini tampaknya memberikan solusi cepat dan mudah dengan kedok komitmen tertentu terhadap lingkungan hidup, namun hal ini sama sekali tidak memungkinkan terjadinya perubahan radikal yang diperlukan oleh keadaan saat ini. Sebaliknya, hal ini mungkin hanya menjadi sebuah taktik yang memungkinkan dipertahankannya konsumsi berlebihan di beberapa negara dan sektor," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement