REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir satu tahun sekitar 200-an warga menghuni Kampung Susun Bayam di Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Selama itu pula, warga yang tinggal di bangunan di samping Jakarta International Stadium (JIS) itu tak diberi akses listrik dan air bersih.
Siti Nurhabibah (32 tahun) adalah salah satunya. Ia tinggal menempati salah satu ruangan berukuran sekitar 36 meter persegi di lantai dua Kampung Susun Bayam bersama suaminya. Meski sudah hampir setahun tinggal di Kampung Susun Bayam, baru sekitar dua bulan Siti dan suaminya menghuni ruangan rumah susun di tempat itu.
"Sudah setahun lebih. Awalnya kami tinggal di pelataran (Kampung Susun Bayam). Lalu Desember naik ke atas," kata dia kepada Republika, Selasa (23/1/2024).
Siti menganggap ada diskriminasi kepada warga yang menghuni Kampung Susun Bayam saat ini. Pasalnya, sebelum warga masuk ke rumah susun itu, listrik di gedung tersebut selalu menyala selama 24 jam. Namun, ketika warga datang, akses listrik dan air dimatikan.
"Fasilitas semua dimatiin, sampai tempat ibadah dimatiin. Dikunci. Listrik tidak nyala, air mati semuanya," ujar dia.
Selama ini, warga yang menghuni Kampung Susun Bayam harus memenuhi kebutuhan air dan listrik secara swadaya. Untuk air misalnya, warga harus mengambil dari got yang berjarak sekitar 30 meter dari lokasi gedung.
Air dari got itu kemudian disaring ke dalam sebuah ember berisi pasir. Setelah disaring, warna air itu masih keruh. Namun, warga tak ada pilihan lain untuk mendapatkan air. Alhasil, air keruh itulah yang digunakan untuk mandi, mencuci, memasak, bahkan minum.
"Untuk minum juga bisa pakai air itu. Kadang pakai isi ulang, tapi kadang pakai air sumur biar lebih irit," ujar Siti.
Ia mengaku tak punya pilihan selain menghuni Kampung Susun Bayam. Pasalnya, penghasilan suaminya sebagai sopir tak memungkinkan untuk memilih tempat tinggal lain. Apalagi, Kampung Susun Bayam memang sejak awal diperuntukkan bagi warga Kampung Bayam yang tergusur akibat pembangunan JIS.
"Yang dijanjikan, Pemprov mau kasih kunci dan bisa ditempati. Akhirnya kita tunggu, tidak dikasih. Harapan warga, Pj (Gubernur DKI Jakarta) buka mata hati, fasilitas dinyalakan. Kasihan anak kecil, kasihan lansia. Mudah-mudahan Pj dengerin tanginsan suara kampung bayam," kata dia.
Ketua Kelompok Tani Kampung Bayam Madani Muhammad Furqon (45) mengatakan, warga yang menghuni Kampung Susun Bayam saat ini pada dasarnya telah dijanjikan untuk menempati tempat itu. Ia menjelaskan, masalah warga yang menempati Kampung Susun Bayam sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara yang sederhana. Namun, nyatanya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terus mengulurnya.
"Karena saat Anies (Baswedan) membangun ini peruntukkan untuk warga Kampung Bayam," kata dia.
Furqon menjelaskan, warga Kampung Bayam sudah diajak musyawarah dengan PT Jakarta Propertindo atau Jakpro terkait kontribusi untuk menempati rumah di Kampung Susun Bayam. Ketika itu, PT Jakpro meminta kontribusi Rp 1,8 juta per bulan per rumah kepada warga. Namun PT Jakpro bisa memangkas kontribusi menjadi Rp 750 ribu.
Ketika itu, warga masih melakukan penawaran. Setelahnya, disepakati angka Rp 600 ribu untuk kontribusi warga menghuni Kampung Susun Bayam.
"Itu disepakati dan Desember 2022 dibuat draf. Harusnya draf itu diberikan kepada kami dan ditandatangani. Namun, sampai hari ini tidak ada hal itu. Padahal sudah disepakati," kata dia.
Karenanya, warga membuat perlawanan dengan menempati pelataran Kampung Susun Bayam pada Maret 2023. Hingga akhinya, pada Desember 2023, warga mulai naik ke lantai dua untuk menempati rumah di Kampung Susun Bayam.
Setelah menempati rumah di Kampung Susun Bayam, beberapa warga dilaporkan ke aparat kepolisian. "Kami kecewa, kami dikriminalisasi," kata Furqon.
Menurut dia, negara harus hadir untuk mengtasi permasalahan di Kampung Susun Bayam. Bukan dengan cara mengusir atau menyediakan Rusun Nagrak di Cilincing.
"Itu bukan solusi. Karena peruntukkan kami di sini. Jakpro dan Pj Gubernur harus tanggung jawab. Hak kami hilang. Ruang hidup kami hilang," kata dia.