Jumat 16 Feb 2024 18:20 WIB

Prabowo-Gibran Unggul di Quick Count, Ini Adab Seorang Pemimpin yang Harus Dilakukan

Islam mengajarkan adab ketika seseorang menjadi pemimpin.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
 Prabowo-Gibran Unggul di Quick Count, Ini Adab Seorang Pemimpin yang Harus Dilakukan. Foto:  Pilpres Ilustrasi
Foto: Republika
Prabowo-Gibran Unggul di Quick Count, Ini Adab Seorang Pemimpin yang Harus Dilakukan. Foto: Pilpres Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming diketahui unggul dalam quick count sejumlah lembaga survei pada Pilpres 2024. Jika, hasilnya sama dengan real count KPU, maka pasangan nomor urut dua tersebut akan menjadi pemimpin rakyat Indonesia.

Terkait kepemimpinan, Islam menyampaikan sejumlah tuntunan mengenai adab yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Nabi Muhammad SAW telah memberi pesan terkait hal tersebut. sehingga seorang pemimpin perlu melakukan hal ini untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya.

Baca Juga

1. Akhlak yang Luhur

Pertama adalah memiliki akhlak yang luhur. Ulama tafsir Prof Quraish Shihab menjelaskan hal tersebut dalam Tafsir Al-Mishbah, dalam tafsirnya pada ayat 73 Surat Al Anbiya.

Allah SWT berfirman:

وَجَعَلْنٰهُمْ اَىِٕمَّةً يَّهْدُوْنَ بِاَمْرِنَا وَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرٰتِ وَاِقَامَ الصَّلٰوةِ وَاِيْتَاۤءَ الزَّكٰوةِۚ وَكَانُوْا لَنَا عٰبِدِيْنَ ۙ

"Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah." (QS. Al Anbiya ayat 73)

Dalam tafsirnya atas ayat 73 Surat Al Anbiya, Prof Quraish menjelaskan, seseorang yang menjadi imam, teladan atau pemimpin, hendaknya memiliki kepribadian yang luhur. "Serta akhlak mulia sesuai tuntunan ilahi," paparnya.

Prof Quraish juga menyebutkan, seseorang yang menjadi imam harus memiliki keistimewaan melebihi para pengikutnya. Tidak hanya memiliki kemampuan menjelaskan petunjuk, tetapi juga kemampuan mengantar para pengikutnya menuju arah yang baik.

2. Bersikap Adil Bagi Semua

Berikut hadits yang menjelaskan hal ini.

عن أبي هريرة ، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، أنه قال : « سبعة يظلهم الله تعالى في ظل عرشه يوم لا ظل إلا ظله : شاب نشأ في عبادة الله تعالى ، وإمام مقسط

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Ada tujuh golongan manusia yang akan berada di naungan Allah pada hari yang tiada naungan selain naungan Allah, yaitu; pemimpin yang adil dan jujur..." (HR Bukhari dan Muslim)

Pemimpin yang adil dan jujur akan dinaungi Allah SWT pada Hari Kiamat. Apa yang dimaksud dengan naungan dalam hadits itu ialah naungan Arsy, sebagaimana dijelaskan dalam kitab syarah Shahih Bukhari 'Fath al-Baari' karangan Ibnu Hajar Al Asqolani.

Salah satu yang dinaungi Allah SWT adalah seorang imam yang adil. Ini merujuk pada setiap orang yang diberi kuasa atau yang memiliki kuasa atas urusan umat Islam, termasuk pemimpin negara.

Allah SWT berfirman:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS An Nahl ayat 90)

Di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, Al Hasan Al Basri pernah mengirimi surat yang berisi nasihat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ada beberapa poin dalam surat, yang berisi tentang ciri-ciri imam yang adil.

Salah satunya, orang yang adil adalah yang mengikuti perintah Allah dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya sebagaimana mestinya, tidak melebih-lebihkan, dan tidak pula lalai. Al Zarqani dalam kitab syarah Al-Muwattha', menambahkan bahwa adil itu merupakan perwujudan dari tiga hal yaitu kebijaksanaan, keberanian, dan kesucian.

3. Menjaga Amanah

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar RA, dia pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. "Wahai Rasulullah SAW, apakah engkau tidak hendak mengangkatku (untuk memegang suatu jabatan pemerintahan)?"

Kemudian Nabi SAW menepuk bahu Abu Dzar RA dengan tangan beliau, sambil bersabda, "Wahai Abu Dzar, engkau ini lemah. Pekerjaan (pada sebuah jabatan pemerintahan) itu adalah amanah, yang pada hari kiamat kelak dipertanggungjawabkan dengan risiko penuh kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang memenuhi syarat dan dapat melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya dengan baik." (HR Muslim)

Para generasi shaleh terdahulu selalu memperhatikan hal ini. Mereka merenungi apa saja hak-hak yang mereka miliki, menjaga amanah yang diberikan, dan mengatasi berbagai ketidakadilan yang dialami sebagian orang.

Bahkan Nabi SAW mendoakan pemimpin yang tidak menjalankan amanah. Aisyah RA meriwayatkan pernah mendengar Rasulullah SAW mengucapkan doa di rumahnya. Beliau SAW berdoa sebagaimana berikut ini:

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ

"Ya Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan untuk mengurusi umatku lalu dia mempersulit mereka, maka persulit jugalah dia. Dan siapa yang menjabat suatu jabatan untuk mengurusi umatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia." (HR. Muslim)

Hadits itu menekankan bahwa jabatan atau kursi kepemimpinan adalah amanah berdasarkan nilai dan kompetensi yang disertai ilmu dan pemahaman. Jika seseorang yang telah diberi tanggung jawab atau jabatan yang membuatnya memiliki tanggung jawab, lalu mencelakakan atau mempersulit rakyatnya, maka celakalah pula ia dalam berbagai urusannya sebagai ganjaran.

4. Menyerahkan Urusan kepada yang Ahlinya

Berikut ini bunyi hadits lengkapnya yang mengisyaratkan pentingnya pemimpin menyerahkan urusan kepada yang ahlinya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa ketika Nabi Muhammad SAW berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu bertanya, "Kapan datangnya hari kiamat?"

Namun Nabi SAW tetap melanjutkan pembicaraan beliau. Sebagian orang berkata, "Beliau mendengar perkataannya akan tetapi beliau tidak menyukai apa yang dikatakannya itu." Dan ada pula sebagian yang berkata, "Beliau tidak mendengar perkataannya."

Hingga akhirnya Nabi SAW menyelesaikan pembicaraannya, seraya berkata, "Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat tadi?" Orang (yang bertanya) itu berkata, "Saya, wahai Rasulullah!"

Maka Nabi SAW bersabda, "Bila sudah hilang amanah, maka tunggulah terjadinya kiamat". Orang itu bertanya, "Bagaimana hilangnya amanah itu?" Nabi SAW bersabda, "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat." (HR. Bukhari)

Makna 'Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya', mengacu pada suatu urusan yang ditangani oleh orang-orang yang tidak ahli agama, tidak jujur, tidak amanah, dan orang-orang yang justru membantu dalam berbuat kezaliman dan maksiat.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement