REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Raksasa teknologi Google mendukung proyek satelit yang akan mengumpulkan data terkait tingkatan metana di seluruh dunia. Satelit yang akan diluncurkan pada Maret itu akan mengorbit pada jarak 483 kilometer di atas Bumi.
Gas metana diyakini oleh para ilmuwan sebagai kontributor utama pemanasan global, karena gas ini memerangkap panas. Banyak metana yang dihasilkan dari pertanian dan pembuangan limbah, namun proyek Google ini akan berfokus pada emisi metana di pabrik minyak dan gas.
Perusahaan-perusahaan yang mengekstraksi minyak dan gas secara teratur membakar atau melepaskan metana. Proyek baru ini merupakan kolaborasi antara Google dan Environmental Defense Fund, sebuah kelompok iklim global nirlaba.
Data yang diambil oleh satelit akan diproses oleh alat kecerdasan buatan raksasa teknologi ini dan digunakan untuk menghasilkan peta metana yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebocoran metana pada infrastruktur minyak dan gas di seluruh dunia.
Namun perusahaan ini mengatakan bahwa jika mereka mengidentifikasi kebocoran yang signifikan, mereka tidak akan secara khusus memberi tahu perusahaan pemilik infrastruktur yang bertanggung jawab atas kebocoran tersebut.
"Tugas kami adalah menyediakan informasi. Pemerintah dan regulator akan menjadi pihak yang memiliki akses terhadap informasi tersebut dan mereka yang akan memaksakan perubahan apa pun,” kata Google seperti dilansir BBC, Selasa (20/2/2024).
Tidak ada aturan internasional untuk mengendalikan emisi metana. Uni Eropa telah menyetujui serangkaian proposal yang bertujuan untuk menguranginya, termasuk memaksa operator minyak dan gas untuk memperbaiki kebocoran. Di sektor batu bara, pembakaran akan dilarang di negara-negara anggota mulai tahun 2025.
Peta Google, yang akan dipublikasikan di Earth Engine, tidak akan real time, dengan data yang dikirim kembali dari satelit setiap beberapa pekan.
Pada tahun 2017, Badan Antariksa Eropa meluncurkan instrumen satelit serupa yang disebut Tropomi, guna memetakan keberadaan gas-gas di atmosfer, termasuk metana. Itu adalah misi dengan masa hidup minimal tujuh tahun, yang berarti bisa berakhir tahun ini.
Carbon Mapper, yang menggunakan data Tropomi, merilis laporan pada tahun 2022 yang mengindikasikan bahwa gumpalan metana terbesar terlihat di Turkmenistan, Rusia, dan Amerika Serikat - tetapi tutupan awan membuat data tersebut tidak mencakup Kanada atau Cina.
Google berharap proyeknya akan mengisi kesenjangan di antara alat yang tersedia saat ini. Meskipun berbagai upaya pelacakan telah dilakukan, tingkat metana tetap sangat tinggi.
NASA mengatakan bahwa kadar gas tersebut telah meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 200 tahun terakhir, dan 60 persen di antaranya dihasilkan oleh aktivitas manusia. Kontributor utama dari persentase tersebut adalah hewan ternak: khususnya sapi. Karena cara mereka mencerna makanannya, sendawa dan kentut sapi mengandung metana.
Pada tahun 2020, Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) menerbitkan sebuah laporan yang menyebutkan bahwa seekor sapi dapat menghasilkan 154-264 pon gas metana setiap tahunnya. Laporan tersebut menambahkan bahwa ada sekitar 1,5 miliar sapi yang diternakkan untuk diambil dagingnya di seluruh dunia.
"Satelit sangat bagus untuk menemukan penyebab emisi metana yang sangat besar dan massif. Namun, mendeteksi sumber metana yang lebih tersebar, seperti yang berasal dari pertanian, lebih sulit,” kata Peter Thorne, profesor geografi di Maynooth University di Irlandia.