REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ulama Tafsir Imam Ibnu Katsir, menjelaskan riwayat hadits dari Abdullah bin Abbas RA, ihwal mendoakan yang buruk untuk orang lain. Dalam riwayat tersebut, disebutkan bahwa Allah SWT tidak menyukai doa yang memuat ungkapan buruk kepada siapapun kecuali dizalimi.
Apa yang disampaikan Ibnu Katsir itu merupakan penjelasan tafsirnya atas ayat 148 Surat An Nisa, sebagai berikut:
۞ لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا
"Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus-terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Mahamendengar, Mahamengetahui." (QS An Nisa: 148)
Dengan demikian, Ibnu Katsir memaparkan, jika seseorang dizalimi maka dia diizinkan untuk mendoakan yang buruk untuk orang lain yang telah berbuat zalim kepada dirinya.
Begitu pun dalam Tafsir al-Sa'di yang menyebut bahwa dibolehkan bagi hamba untuk berdoa terhadap orang yang telah menganiaya dirinya. Dibolehkannya ini dengan catatan yaitu selama hamba yang dianiaya itu tidak berdusta dan tidak melebih-lebihkan penganiayaan yang dialami dirinya.
Kendati demikian, tentu saja memaafkan adalah hal yang jauh lebih baik dari itu, yakni dengan memanjatkan doa yang penuh kebaikan. Misalnya berdoa agar sikap zalim yang dilakukan si penzalim itu hilang. Perbuatan ini tentu sangat mulia.
Namun, seorang Muslim yang dizalimi, tidak boleh berdoa untuk kematian anak-anak si penzalim, termasuk berdoa dengan ucapan tersebut yang ditujukan untuk keluarga penzalim dan orang-orang yang memiliki hubungan dengannya.
Jika dizalimi, maka juga tidak boleh berdoa agar orang berbuat zalim itu mengalami sakit yang luar biasa melebihi hukuman yang setimpal baginya. Berdoa agar pelaku zalim itu dikutuk untuk terus melakukan perbuatan dosa, juga tidak boleh. Ingat bahwa keinginan agar orang lain terjerembab dalam maksiat adalah bentuk dari maksiat itu sendiri.
Allah SWT dalam Alquran mengingatkan bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang memaafkan orang lain. Karena itu, sudah semestinya orang yang beriman adalah memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepada dirinya.
Allah SWT berfirman:
۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran 133-134).