REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional.
"PPP menyambut baik putusan peniadaan ambang batas parlemen," ujar pria yang akrab disapa Romy ini.
Menurutnya, putusan MK yang menghapus ketentuan ambang batas merupakan kemenangan kedaulatan rakyat karena setiap suara pemilih terkonversi menjadi perolehan kursi anggota DPR.
"Inilah sebenarnya esensi sistem pemilu proporsional, yakni tidak ada suara rakyat yang terbuang," katanya.
Romy berharap putusan ini dapat berlaku prospektif, yakni berlaku mulai hari ini diputuskan. Dia mengatakan tahapan penghitungan sebagaimana ketentuan ambang batas parlemen ini saat diputuskan belum berjalan.
Selain itu, dia juga meminta KPU segera berkonsultasi kepada MK untuk melakukan perubahan Peraturan KPU. Hal ini sekaligus menyambut putusan penghapusan ketentuan ambang batas parlemen.
"Mengapa? perubahan ketentuan usia syarat capres-cawapres bisa berlaku pada Pemilu 2024, tetapi penghapusan ambang batas parlemen pada Pemilu 2029," ucap Romy.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem mengenai ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam Sidang Pleno MK yang dipantau secara daring.
MK memutuskan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.
Dalam perkara ini, Perludem menggugat frasa "partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".
Perludem ingin norma pada pasal tersebut diganti menjadi "partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR dengan ketentuan: a. Bilangan 75 persen dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah daerah pemilihan; b. Dalam hal hasil bagi besaran ambang parlemen sebagaimana dimaksud huruf a menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan".
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit empat persen dimaksud dalam pasal tersebut.
Saldi juga menyebut angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.
Sebagai contoh, MK memaparkan, pada Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional.
Kebijakan ambang batas parlemen dinilai telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.
"Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah mencederai kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu, termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih. Berdasarkan hal tersebut, dalil pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah," jelas Saldi.
Sementara itu, rekomendasi norma yang diajukan oleh Perludem dalam petitum, tidak dapat dikabulkan oleh MK karena hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan pembentuk undang-undang untuk dirumuskan lebih lanjut.