REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Sumatra Selatan mendata hingga 2024 ini luasan lahan gambut di provinsi dengan 17 kabupaten dan kota itu terus berkurang.
"Luas lahan gambut Sumsel yang sebelumnya sekitar 2,1 juta hektare, sekarang ini masih tersisa 1,7 juta ha atau 7,55 persen dari total luas gambut Indonesia yang mencapai 13,43 juta ha," kata Sekretaris TRGD Sumsel Eko Agus Sugianto, di Palembang, Jumat (15/3/2024).
Dia menjelaskan, terus berkurangnya luasan lahan gambut akibat kebakaran pada setiap musim kemarau, pengelolaan gambut tidak sesuai dengan fungsinya, deforestasi, serta alih fungsi lahan gambut untuk pertanian, perkebunan, dan kepentingan lainnya.
Luasan lahan gambut Sumsel tidak menutup kemungkinan akan terus tergerus terutama oleh kepentingan korporasi dan masyarakat. Melihat terus berkurangnya luasan lahan gambut di provinsi ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk merestorasi gambut.
Bahkan pihaknya banyak membangun kerja sama dengan NGO (non govermant organitation) dalam mengatasi permasalahan gambut yang tidak berkesudahan.
Kemudian pemanfaatan gambut berkelanjutan menjadi titik fokus, agar setiap pihak dalam mengelola gambut sesuai dengan fungsinya seperti kawasan konsesi diharapkan menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam pengelolaan kesatuan hidrologis gambut (KHG) Sumsel diatur melalui Perda Nomor 1 Tahun 2018 agar tidak menimbulkan krisis ekologi yakni kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta banjir, kata Sekretaris TRGD Sumsel.
Sementara Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang Yulian Junaidi menjelaskan bahwa perlu dibentuk desa ekologis sebagai ujung tombak merawat dan mengelola KHG.
Desa ekologis memiliki sistem kelola yang integratif dan partisipatif baik proses tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi berbasis pada pengelolaan sumberdaya berkelanjutan dengan kearifan lokalnya.
Konsep ini relevan dengan pemberdayaan masyarakat di kawasan gambut dilihat dari karakteristik sumberdaya alam sub-optimal, disusul sumberdaya manusia (SDM) tani bercorak kecil, cerai-berai dan tradisional (KCT).
"Konsep ini tentunya dapat dijadikan landasan untuk membangun kewarganegaraan ekologis atau ecological citizenship sebagai tindakan kolektif, serta membantu Indonesia ke arah low carbon economy," ujar akademisi Unsri itu.