REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Awalnya terdapat empat partai Islam ikut dalam percaturan politik di Indonesia di masa awal Orde Baru. Di antaranya Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti.
Seiring berjalannya waktu, empat partai berbasis Islam itu bergabung atau melakukan fusi pada 5 Januari 1973. Hasil fusi tersebut lahirlah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kelahiran PPP dipelopori oleh para ulama, di antaranya KH Idham Chalid sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Mohammad Syafaat Mintaredja sebagai Ketua Umum Parmusi, Haji Anwar Tjokroaminoto sebagai Ketua Umum PSII, Haji Rusli Halil sebagai Ketua Umum Perti, dan Haji Mayskur sebagai Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di DPR.
Dengan hasil gabungan dari partai-partai besar berbasis Islam, maka PPP telah memproklamirkan diri sebagai “Rumah Besar Umat Islam.” Dilansir dari laman resmi PPP, Jumat (22/3/2024)
Awal berdirinya, PPP menerapkan asas Islam dengan lambang Kabah. Namun sejak tahun 1984, PPP menggunakan asas Negara Pancasila sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan sistem politik yang berlaku saat itu, ini disebabkan karena adanya tekanan politik pada masa Orde Baru.
Selanjutnya PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dengan lambang Bintang dalam segi lima berdasarkan Muktamar I PPP tahun 1984.
Dalam perjalannya, PPP kembali menggunakan asas Islam dengan lambang Kabah sejak tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1998 berdasarkan kesepakatan dalam Muktamar IV akhir tahun 1998. PPP berkomitmen untuk terus menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, meskipun partai menggunakan asas Islam.
Kembali ke tahun 1973, PPP yang dipelopori para ulama ini melantik ketua umum yang pertama pada periode 5 Januari 1973 - 1978. Ketua umum pertama PPP adalah H Mohammad Syafaat Mintaredja. Hingga selanjutnya ketua umum PPP secara berturut-turut H Jailani Naro, H Ismail Hasan Metareum, H Hamzah Haz dan seterusnya.