REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, terdapat peningkatan sampah sisa makanan pada masa puasa. Sehingga sosialisasi perlu terus dilakukan untuk menguranginya.
"Dari data empirik kita selama puasa terjadi peningkatan 10 sampai 20 persen sampah sisa makanan," ujar Direktur Penanganan Sampah KLHK Novrizal Tahar dalam diskusi daring diikuti dari Jakarta, Jumat (22/3/2024).
Dia menjelaskan KLHK terus melakukan komunikasi publik untuk gerakan hidup minim sampah, secara khusus untuk mengurangi sampah sisa makanan. Serta gerakan menghabiskan makanan atau makan tanpa sisa dan jika ada sisa makanan bisa dijadikan kompos.
Kegiatan mengubah sampah organik menjadi kompos di rumah dapat juga mengurangi emisi gas rumah kaca (GKR) secara khusus gas metana yang memiliki kemampuan untuk memerangkap panas di atmosfer.
Tidak hanya itu, pengurangan sampah organik yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) juga mengurangi penumpukan gas metana, yang memiliki potensi terbakar dipicu oleh cuaca panas.
Selain itu, gerakan hidup minim sampah itu juga termasuk membatasi dan mengurangi penggunaan produk sekali pakai, belanja tanpa kemasan atau menggunakan kantung sendiri dan memilah sampah di rumah.
"Kalau lima ini dilakukan oleh setiap orang, setiap individu secara konsisten, 90 sampai 95 persen sampah bisa kita selesaikan sendiri sebenarnya. Mungkin tinggal 5 persen atau mungkin sisanya yang kita minta tolong kepada sistem kota, pemerintah daerah, untuk menyelesaikannya," kata Novrizal.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, total terdapat 19,4 juta ton timbulan sampah pada 2023. Dari jumlah tersebut 41,76 persen merupakan sampah sisa makanan, lebih besar dibandingkan sampah anorganik seperti sampah kertas 11,02 persen dan plastik 18,39 persen.