REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM dalam TropmedTalk Maret ini mengangkat tema 'Tetap Sehat saat Puasa: Mitos atau Fakta?'. Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM dokter Probosuseno mengatakan bahwa puasa sangatlah menyehatkan.
"Puasa sangat menyehatkan baik secara biologis, psiko-sosial maupun spiritual," kata Probo, Jumat (22/3/2024) dalam keterangannya.
Ia melanjutkan pemaparannya dengan menyebutkan banyaknya penelitian tentang manfaat berpuasa. Salah satu yang ia sebut adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Jepang, Yoshinori Ohsumi.
Ia mendapat Penghargaan Nobel pada 2016 setelah meneliti tentang puasa dikaitkan dengan aktivasi autophagy. Ini adalah proses alami tubuh untuk membuang sel-sel yang rusak dan tidak berfungsi, sekaligus menggantinya dengan sel-sel baru yang sehat.
Proses ini dapat terjadi secara alami salah satunya dengan puasa. Bahkan dokter Probo sendiri pernah meneliti terkait dampak puasa terhadap berat badan dan tekanan darah.
"Berat badan akan turun 6 ons hingga 2 kilogram pada minggu pertama," ucapnya.
Menurutnya penurunan ini terjadi karena pembakaran lemak seiring berkurangnya asupan. Apalagi aktivitas beribadah juga meningkat selama Ramadhan.
"Penurunan berat badan ini juga ternyata berimbas pada penurunan tekanan darah," tuturnya.
Apalagi selama menjalani puasa, orang akan dianjurkan mengendalikan emosinya. Melalui mekanisme lainnya, dokter Probo juga menyampaikan bahwa puasa akan dapat mencerahkan kulit dan menurunkan radikal bebas.
Terkait sakit yang dapat menggugurkan kewajiban berpuasa, dokter Probo menjelaskan bahwa jika sakitnya bersifat ringan dapat tetap menjalankan puasa. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktu mengonsumsi obat rutin bagi penderita sakit seperti diabetes.
"Jika sudah terbiasa minumnya saat sarapan, diganti menjadi setelah berbuka puasa," ungkapnya.
Ia berpesan jika kadar gula darah sewaktu di atas 250 sebaiknya tidak berpuasa. Demikian juga dengan penyakit yang tidak bisa membaik seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), maka sebaiknya tidak puasa.
Meskipun demikian ia menyarankan untuk selalu berkonsultasi dengan dokter sebelum memutuskan untuk menjalankan atau menangguhkan puasa. Termasuk untuk pasien yang mengonsumsi antibiotik rutin. Jika mengharuskan untuk minum antibiotik tiap enam jam, maka boleh tidak puasa. Namun jika hanya minum obat tiga kali sehari, maka bisa tetap berpuasa dengan mengganti waktu minum obatnya menjadi saat makan sahur, berbuka puasa dan menjelang tidur.
Sedangkan untuk penderita maag atau dispepsia, perlu mengetahui jenis dispepsia yang diderita. Dispepsia sendiri adalah kondisi berupa gangguan pencernaan kronis yang ditandai dengan perut terasa nyeri, kembung, dan begah terutama setelah mengonsumsi makanan.
"Jika sedang sakit, kemudian terasa sakit saat makan, maka tidak usah puasa," jelasnya.
Hal itu menandakan dispepsia yang ia derita adalah dispepsia organik. Namun jika ketika makan tidak merasa sakit maka dapat menjalankan puasa, karena itu menandakan dispepsia fungsional.
Terkait memilih menu untuk berbuka puasa dan makan sahur, dokter Probo menyarankan agar disesuaikan dengan kondisi tubuh. Orang-orang yang sehat lebih leluasa menentukan menu makan asalkan tidak berlebihan. Saran ini juga berlaku menyikapi maraknya tawaran berbuka puasa dengan skema all you can eat. Ia menekankan untuk tetap membatasi asupan di tengah godaan untuk makan sebanyak-banyaknya itu.
Pengaturan porsi ini juga berlaku untuk makan sahur. "Disesuaikan dengan aktivitasnya," katanya.