REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Perkembangan Islam di Jawa Barat tak lepas dari peran Kesultanan Cirebon dan para ulamanya. Salah satunya KH. Hasanudin Jatira. Ia adalah pendiri salah satu pondok pesantren tua di Cirebon yakni Pesantren Babakan Ciwaringin. Kiai Jatira mendirikan pondok tersebut pada 1705/1127 H.
Dalam "Meneguhkan Islam Nusantara, Biografi Pemikiran & Kiprah Kebangsaan Prof. Dr. KH Said Aqil Siraj", Kiai Jatira masih termasuk trah Keraton Cirebon. Ia adalah putra dari KH. Abdul Latief dari Desa Pamijahan Plumbon, Cirebon. Keagamaan Kiai Jatira sangat kuat. Ia benar-benar menjaga nilai-nilai agama Islam dalam kesehariannya.
Kiai Jatira juga gigih dalam mendakwahkan agama Islam kepada masyarakat. Meski trah keraton, Kiai Jatira sosok yang sederhana dan dekat dengan masyarakat bawah. Atas kedekatannya dengan masyarakat bawah, Kiai Jatira mengetahui apa yang mereka butuhkan.
Kiai Jatira melihat langsung bagaimana kesulitan masyarakat dalam hal pertanian ketika dilanda kekeringan. Ia pun akhirnya berpikir bagaimana pondoknya tak hanya berfungsi sebagai tempat belajar agama tetapi juga bermanfaat lebih luas dalam meringankan beban sehari-hari masyarakat.
Kiai Jatira memulainya dari hal kecil. Kiai Jatira menjadikan pondok pesantren kecilnya di awal pendirian sebagai tempat peristirahatan para petani. Kiai Jatira juga seorang pejuang. Itu terbukti dengan berupaya menjauhkan diri dari jangkauan penjajah Belanda. Dari sinilah asal mula Pesantren Babakan itu berdiri dan terus berkembang hingga kini.
Jatira sendiri merupakan julukan yang disematkan oleh murid-murid Kiai Hasanudin. Penyematan itu karena Kiai Hasanudin mempunyai kebiasaan duduk di bawah dua pohon jati ketika sedang membangun musholla. Musholla tersebut yang dijadiman tempat Kiai Jatira mendakwahkan Islam.
Padepokan Kiai Jatira diserang oleh penjajah Belanda pada 1718. Padepokannya pun hancur meskipun sempat ada perlawanan dari santri-santrinya dan masyarakat. Kiai Jatira datang kembali ke Pedukuhan Babakan dan membangun pesantren pada 1722 yang berjarak sekitar 400 M dari tempat yang pertama.
Namun Belanda tetap menganggunya. Mereka berniat kembali menyerangnya. Dan pada 1751, Belanda kembali menyerangnya. Namun Kiai Jatira dan keluarga serta santrinya berhasil melarikan diri karena mengetahui terlebih dahulu info bahwa Belanda akan menyerang. Sehingga mereka hanya menemukan pesantren dalam keadaan kosong dan mereka membakarnya.
Pada tahun 1753, Kiai Jatira sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Setelah wafatnya Kiai Jatira, pesantren ini mengalami stagnasi kepemimpinan. Akibatnya pesantrennya pun rusak.
KH. Nawawi membangun kembali Pondok Pesantren Babakan yang letaknya tak jauh dari lokasi lama yakni sekitar satu kilometer ke arah selatan. Kiai Nawawi tak sendiri dalam mengembangkan pesantren Babakan. Ia dibantu oleh KH. Adzro’I dalam mendidik santri-santrinya. Setelah masa kepengasuhan Kiai Nawawi, Pondok Pesantren ini dipegang oleh putra KH. Adzro’I yakni KH. Ismail pada 1800 M/1225 H. Pada tahun 1916, KH. Amin Sepuh bin KH. Irsyad menjadi pengasuh pondok pesantren ini. Kiai Amin Sepuh masih memiliki garis keturunan dari Syekh Syarif Hidayatullah.
KH. Amin Sepuh bin KH. Irsyad merupakan penerus pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin setelah KH. Ismail. Di masa Kiai Amin Sepuh ini menurut catatan buku Meneguhkan Islam Nusantara, Biografi Pemikiran & Kiprah Kebangsaan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj pesantren ini mencapai era keemasannya.