Jumat 29 Mar 2024 14:40 WIB

Studi: 1 Miliar Penduduk Asia Selatan Terancam Alami Krisis Air Bersih

Kolaborasi antar negara dinilai menjadi solusi untuk mengatasi krisis air.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Kolaborasi yang lebih baik sangat dibutuhkan untuk memitigasi dampak perubahan iklim di tiga daerah aliran sungai utama di Asia Selatan.
Foto: www.freepik.com
Kolaborasi yang lebih baik sangat dibutuhkan untuk memitigasi dampak perubahan iklim di tiga daerah aliran sungai utama di Asia Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kolaborasi yang lebih baik sangat dibutuhkan untuk memitigasi dampak perubahan iklim di tiga daerah aliran sungai utama di Asia Selatan, yaitu Sungai Brahmaputra, Sungai Indus, dan Sungai Gangga. Demikian menurut sebuah analisis terbaru yang dirilis oleh International Centre for Integrated Mountain Development dan Australian Water Partnership.

Ketiga sungai tersebut menyediakan ketahanan pangan dan air bagi hampir satu miliar orang di beberapa komunitas yang paling rentan di Asia, serta menopang industri dan kebijakan industri di salah satu zona terpadat padat penduduknya.

Baca Juga

Dalam serangkaian laporan, para penulis menekankan bahwa kolaborasi di antara negara-negara riparian (negara-negara yang berada di sepanjang aliran sungai) sangat penting untuk strategi energi yang berkelanjutan, ketahanan air, dan ketahanan bencana. Mereka juga memperingatkan bahwa pendekatan yang ada saat ini meningkatkan risiko destabilisasi dan krisis.

“Sudah terlalu lama, ketahanan air telah dianggap sebagai permainan yang tidak menguntungkan (zero-sum game). Tetapi penelitian ini menunjukkan bahwa negara-negara dan pemangku kepentingan dapat mengidentifikasi bidang-bidang yang perlu dikolaborasikan. Seperti melindungi komunitas rentan, menjaga ekosistem keanekaragaman hayati, dan menumbuhkan perekonomian,” kata penulis laporan Indus, Russell Rollason, seperti dilansir Phys, Jumat (29/3/2024).

Laporan tentang Brahmaputra mengidentifikasi sejumlah tantangan, termasuk meningkatkan kapasitas kelembagaan, mendorong penelitian dan pemantauan, serta menerapkan langkah-langkah pengendalian banjir yang efektif. Sementara itu, analisis mengenai Sungai Indus dan Sungai Gangga menyoroti meningkatnya persaingan dalam pembangkit listrik tenaga air, kerawanan pangan dan air, serta kesenjangan data sebagai masalah yang harus diatasi.

Ketiga laporan tersebut menunjukkan perlunya menggunakan ilmu pengetahuan untuk membangun kepercayaan, meningkatkan pengelolaan daerah aliran sungai, dan meremajakan kesepakatan yang ada untuk meningkatkan ketahanan iklim.

Anamika Barua, profesor ekonomi ekologi di IIT Guwahati, India, mengatakan bahwa satu masalah utama di seluruh daerah aliran sungai ini adalah tidak adanya kerja sama.

"Jadi, negara-negara di daerah aliran sungai harus serius dalam mengambil tindakan bersama secepat mungkin. Namun, agar hal itu terwujud, komunitas ilmiah perlu menciptakan narasi positif di sekitar lembah-lembah tersebut dengan bantuan media, sebuah area di mana peningkatan kapasitas juga diperlukan,” kata Barua.

Lembah Indus membentang sekitar 3.200 kilometer dan merupakan sumber utama air untuk minum, keperluan rumah tangga, irigasi, dan produksi energi bagi 268 juta orang.

"Perubahan curah hujan, kerentanan terhadap kejadian bencana, dan peningkatan variabilitas dalam ketersediaan air akan mempengaruhi keempat negara di lembah sungai tersebut: Afghanistan, Cina, India, dan Pakistan," kata laporan Indus.

Laporan tersebut menambahkan bahwa di India dan Pakistan, di mana pasokan air sudah tertekan dan kapasitas penyimpanan rendah, diprediksi akan mengalami peningkatan permintaan air hingga 50 persen pada tahun 2047, dengan perubahan iklim sendiri bertanggung jawab atas peningkatan permintaan hingga 15 persen.

Laporan tersebut menambahkan bahwa bencana banjir sudah terjadi setiap tahun, dan selama musim kemarau, kelangkaan air dan kekeringan sudah menjadi hal yang biasa. Keduanya kemungkinan akan meningkat, baik dalam frekuensi maupun tingkat keparahannya akibat perubahan iklim.

Sementara itu, sekitar 114 juta orang bergantung pada lembah Sungai Brahmaputra untuk mendapatkan air, listrik, makanan, pertanian, dan perikanan. Mereka terdiri atas 58 juta orang di Bangladesh, 39 juta orang di India, 16 juta orang di Cina, dan 700 ribu orang di Bhutan,

Para peneliti menggambarkannya sebagai salah satu zona yang paling padat penduduknya dan paling tidak berkembang di dunia. Mereka memperingatkan bahwa meningkatnya permintaan akan makanan, energi, dan air di negara-negara lembah sungai memberikan tekanan pada sumber daya air sungai dan kawasan konservasi keanekaragaman hayati.

Sebuah laporan terpisah dari UNESCO yang dirilis pekan lalu memperingatkan bahwa ketegangan atas air memperburuk konflik di seluruh dunia. UNESCO juga mendesak negara-negara untuk meningkatkan kerja sama internasional dan perjanjian lintas batas untuk menjaga perdamaian.

Meskipun lebih dari 3 miliar penduduk dunia bergantung pada air yang melintasi batas-batas negara, hanya 24 negara yang memiliki perjanjian kerja sama untuk semua air yang digunakan bersama, demikian kata UNESCO.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement