Rabu 03 Apr 2024 16:02 WIB

Angka Rp 271 Triliun Kasus Penambangan Timah Itu Kerugian Ekologis

Menurut Yusri, kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara.

Rep: Antara/Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Kejagung menetapkan pengusaha Helena Lim sebagai tersangka ke-15 dalam penyidikan kasus korupsi penambangan izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di gedung Kejagung, Selasa (26/3/2024).
Foto: Republiika/Bambang Noroyono
Kejagung menetapkan pengusaha Helena Lim sebagai tersangka ke-15 dalam penyidikan kasus korupsi penambangan izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di gedung Kejagung, Selasa (26/3/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) sampai saat ini masih terus mengembangkan kasus korupsi PT Timah Tbk, dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp 271 triliun. Namun angka tersebut nyatanya adalah kerugian ekologis menurut ahli IPB, bukan hasil Laporan Hasil Perhitungan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman  menjelaskan, angka Rp 271 triliun itu adalah hasil perhitungan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjomterkait kerugian ekologis yang diamati menggunakan citra satelit di Provinsi Bangka Belitung terkait penambangan timah ilegal dari 2015 sampai 2022.

Baca Juga

Menurut Yusri, setiap pemilik izin usaha pertambangan (IUP) Operasi Produksi menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Mineral dan Batubara, telah diwajibkan menempatkan jaminan reklamasi ( jamrek) yang ditentukan besarannya oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM yang bisa digunakan memulihkan lubang tambang jika pemilik IUP tidak melakukan reklamas.

"Selain itu, kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), jadi masyarakat jangan dikasih informasi yang menyesatkan," ujar Yusri dalam keterangannya kepada media di Jakarta, Rabu (3/4/2024)

dihubungi.     

Yusri menambahkan, penghitungan pakar IPB itu seharusnya tidak serta merta dijadikan Kejagung sebagai besaran total kerugian negara. Secara konstitusional, sambung dia, yang berhak menghitung besaran kerugian negara adalah BPK.

Yusri menambahkan, kewenangan BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23E UUD 1945. Hal itu dipertegas kembali dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Sehingga, ia mengajak aparat penegak hukum tidak mencari sensasi dengan angka yang terkesan dibesar-besarkan.

"Sehingga sebagai lembaga pemeriksa tertinggi harus menghitung kerugian negara secara adil, bijaksana, objektif dan komperhensif terhadap dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk agar publik tidak simpang siur memahaminya," kata Yusri.

Sementara itu, penyidik Jampidsus Kejagung masih terus menelusuri aset 16 tersangka perkara tindak pidana korupsi tata niaga timah wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022, dalam rangka pemulihan kerugian keuangan negara.

"Penyidik masih bekerja lagi melakukan asset tracing terhadap harta benda yang dimiliki oleh 16 tersangka," kata Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana di Jakarta, Rabu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement