REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Untuk menutup bulan Ramadhan, umat muslim yang beriman dianjurkan untuk menghidupkan malam – malam terakhir bulan Ramadhan. Terdapat kisah Nabi Muhammad SAW melaksanakan itikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan. Karena berpeluang lebih besar untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar.
Kisah Nabi Muhammad SAW melaksanakan Itikaf telah dilakukan semenjak awal bulan Ramadhan. Ia melakukan Itikaf untuk mencari malam Lailatul Qadar. Sebab, malam yang penuh dengan kemuliaan tersebut dirahasiakan oleh Allah SWT kapan waktunya tiba. Seperti yang dijelaskan pada Hadits Riwayat Bukhari yang berbunyi,
« إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
Artinya : “Aku pernah melakukan itikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau.
Sejak saat itu, orang – orang yang terdekat Nabi Muhammad SAW melaksanakan Itikaf seperti apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Bahkan, istri – istrinya pun ikut melaksanakan itikaf walaupun Nabi Muhammad SAW telah wafat. Seperti yang dijelaskan Hadits Riwayat Bukhari, Aisyah r.a berkata,
أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya : “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat.”
Wanita juga diperbolehkan untuk melaksanakan Itikaf sebagaimana yang dilakukan oleh pria. Dengan syarat, yang pertama, Itikaf dilakukan dalam keadaan suci dari haid. Kedua, wanita yang ingin melaksanakan Itikaf harus bebas dan terhindar dari fitnah (godaan bagi pria). Ketiga, diizinkan oleh suaminya untuk pergi ke masjid melaksanakan Itikaf.