REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tanggal 31 Maret, orang-orang di Eropa akan menerapkan daylight saving time (DST) atau memajukan waktu resmi satu jam lebih awal. Namun ini bisa jadi yang terakhir kalinya, karena saat ini muncul petisi untuk menghapuskan DST.
Para ahli yang mengajukan petisi berharap isu DST akan diangkat selama kampanye pemilu di Eropa, sehingga memberikan tekanan pada negara-negara anggota untuk kembali membahasnya. Dalam setahun, DST biasanya dilakukan dua kali yaitu pada musim semi dengan memajukan satu jam lebih awal dan memundurkan satu jam di musim gugur.
Pada tahun 2018, Komisi Eropa secara resmi mengusulkan penghapusan DST dan parlemen mendukung proposal tersebut dalam sebuah resolusi pada bulan Maret 2019. Hal ini terjadi setelah konsultasi publik menunjukkan dukungan kuat dari 4,6 juta warga negara Uni Eropa untuk menghapusnya.
Perubahan tersebut seharusnya berlaku pada tahun 2021, tetapi sejak itu tertahan di legislator bersama Uni Eropa, Dewan Uni Eropa, yang mewakili 27 negara anggota. Negara-negara anggota Uni Eropa terpecah mengenai implementasi praktis dari perubahan tersebut. Seiring dengan munculnya kembali diskusi ini, salah satu pertanyaan terbesar yang belum terjawab secara meyakinkan adalah apakah DST benar-benar mengurangi konsumsi energi?
Dilansir Euro News, Kamis (11/4/2024), beberapa penelitian di Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa DST tidak berpengaruh signifikan terhadap konservasi energi. Di Italia, Italian Society of Environmental Medicine menghitung bahwa menunda pergantian jam dari akhir Oktober ke akhir November akan menghemat 70 juta euro untuk biaya bahan bakar.
Sebuah studi dari Charles University Praha dengan menggunakan data per jam dari tahun 2010 hingga 2017, menemukan bahwa DST di Slovakia hanya bisa menghemat hanya sekitar 0,8 persen dari konsumsi listrik tahunan.
Di Amerika Serikat, sebuah studi yang dilakukan oleh Departemen Transportasi pada tahun 1975 menunjukkan bahwa Daylight Savings hanya memangkas sekitar 1 persen konsumsi energi di negara tersebut.
Penghematan yang tidak signifikan ini mungkin disebabkan karena banyak orang di AS yang bangun sebelum jam 7 pagi. Sebagian besar energi yang dihemat dengan tidak menyalakan lampu di malam hari diimbangi dengan menyalakannya di pagi hari.
Sebuah publikasi tahun 1993 tentang konsumsi bahan bakar (gas, batu bara) di Prancis dan Belgia mengamati peningkatan konsumsi bahan bakar dengan DST karena mereka mengemudi secara ekstra. Hal ini diperkuat oleh penelitian tentang penyebaran polutan.
Sebaliknya, zona waktu alami yang sedekat mungkin dengan waktu matahari kemungkinan besar akan menyelaraskan kurva cahaya dan suhu harian lebih baik dengan jadwal kita.
Hal ini dapat mengarah pada penghematan energi untuk penerangan industri dan pencahayaan lainnya di pagi hari. Lalu penghangat ruangan di pagi hari selama musim dingin karena orang-orang berangkat kerja satu jam lebih awal, serta lebih sedikit AC yang dibutuhkan di dalam mobil dalam perjalanan sepulang kerja.
Lantas akankah Eropa berhenti mengubah jamnya? Tahun lalu, para ahli meminta Dewan Uni Eropa untuk menambahkan isu penghapusan DST ke dalam agendanya. Dengan proposal untuk mengakhiri perubahan jam yang belum diimplementasikan, mereka yang mendukung penghapusan berharap masalah ini akan dibahas pada pemilihan Parlemen Uni Eropa bulan Juni.
Inisiatif Penggunaan Waktu telah meluncurkan Manifesto Uni Eropa tentang Kebijakan Waktu, termasuk12 perubahan yang perlu dilakukan Eropa untuk menjamin "hak atas waktu" bagi semua orang Eropa.
"Uni Eropa harus bereaksi terhadap dampak negatif dari jam yang tidak selaras dengan mendorong penerapan zona waktu permanen sedekat mungkin dengan waktu matahari (waktu alamiah) di Eropa," demikian bunyi manifesto tersebut.
"Jam yang tidak selaras, yang membuat jadwal dimulai lebih awal dari siklus alami siang-malam, meningkatkan kurang tidur dan menyebabkan efek negatif pada kesehatan, ekonomi, dan keselamatan manusia. Uni Eropa memiliki kekuatan untuk mengubahnya,” tambah manifesto itu.