REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seluruh umat muslim tidak lama lagi akan meninggalkan bulan suci Ramadhan. Setelah itu, akan bertemu dengan hari raya Idul Fitri atau dikenal dengan Lebaran. Untuk menetapkan kapan waktu Idul Fitri tiba, akan diadakan sidang Isbat. Berikut penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Isbat dan sejarahnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Isbat adalah penetapan atau penentuan. Maka, sidang Isbat adalah sidang yang diselenggarakan untuk menetapkan atau menentukan awal bulan dalam kalender Hijriyah.
Menurut buku karya Pengamat Meteorologi dan Geofisika (PMG) Pelaksana Lanjutan Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II Tangerang, Moh Iqbal Tawakal yanag berjudul Kilas Balik Penetapan Awal Puasa dan Hati Raya di Indonesia dijelaskan sejarah sidang Isbat diselenggarakan.
Pada zaman Indonesia belum merdeka, masyarakat Indonesia menetapkan awal bulan Qamariyah antar ormas Islam tidak dilakukan atas dasar sidang Isbat. Pada saat itu, awal bulan Ramadhan hingga hari raya Idul Fitri ditetapkan oleh ketua adat di daerahnya masing – masing. Maka, sering terjadi perbedaan waktu awal Ramadhan dan Idul Fitri di setiap wilayah.
Kemudian pada 4 Januari 1946, Kementerian Agama ditunjuk untuk menetapkan Idul FItri dan Idul Adha. Pada saat itu, penetapan yang ditentukan oleh Kemenag tidak dapat diikuti oleh seluruh umat Islam di Indonesia sehingga pada tanggal 16 Agustus 1972, pemerintah membentuk Badan Hisab Rukyat (BHR).
BHR bertujuan untuk menyeragamkan pemahaman dan penetapan tanggal 1 pada bulan Hijriyah dan juga melakukan pengkajian, penelitian, dan juga pengembangan yang berhubungan dengan hisab rukyat dan pelaksanaan ibadah lainnya.
Seperti urusan terkait arah kiblat, waktu shalat, awal bulan, serta waktu gerhana bulan dan matahari. Pada masa awal kemerdekaan, kriteria penentuan awal bulan mengalami perkembangan dan penyempurnaah dengan adanya landasan pedoman wujudul hilal.
Berlanjut pada masa Orde Baru, penetapan 1 Syawal menggunakan imkanur rukyat yang memiliki 3 kriteria, yaitu tinggi hilal di atas 2 derajat, jarak hilal matahari minimal 3 derajat, dan umur bulan sejak ijtimak adalah 8 jam.
Kemudian pada tahun 1974, kriteria ini mulai diterima di tingkat regional dalam forum Menteri – Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesua, Malaysia, serta Singapur (MABIMS).
BHR sempat hampir dibubarkan di bawah pemerintahan Presiden Gus Dur. Alasannya, karena BHR dianggap tidak dapat memberikan pengaruh dan tidak dapat menyeragamkan awal bulan Qamariyah dan pelaksanaan hari raya.
Kemudian, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), BHR kembali difungsikan dengan menambah anggota kepakaran dari bidang astronomi. Hal tersebut bertujuan agar Keputusan yang dihasilkan tidak hanya diterima secara agama tetapi juga secara ilmiah.