REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pejabat senior PBB mengatakan PBB akan meminta sumbangan global senilai 2,8 miliar dolar AS untuk membantu penduduk Gaza dan Palestina di daerah pendudukan Tepi Barat. "Tentu saja 90 persen dari dana tersebut untuk Gaza," kata kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan di wilayah Palestina Andrea De Domenico seperti dikutip Aljazirah, Selasa (17/4/2024).
De Domenico menambahkan, rencana awal adalah 4 miliar dolar AS untuk 2024. Tetapi, anggaran dipangkas karena "kemampuan terbatas" dari akses distribusi bantuan kemanusiaan. PBB juga akan meminta dana lebih untuk upaya menuju reparasi perbudakan trans atlantik dan warisannya pada masyarakat kontemporer.
Selama lebih dari empat abad setidaknya 12,5 juta orang Afrika diculik dan dipindahkan paksa ribuan kilometer dengan kapal-kapal Eropa dan perdagangkan dan dijual sebagai budak. Mereka yang berhasil selamat dalam perjalanan itu berakhir di ladang-ladang pertanian di wilayah yang kini menjadi negara-negara benua Amerika, sebagian besar Brasil dan Karibia.
Dalam pesan video pembukaan sesi ketiga Forum Permanen Orang Keturunan Afrika (PFPAD) di Jenewa, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan kembali rasialisme berdasarkan perbudakan dan kolonialisme selama berabad-abad. Ia mengatakan, reparasi harus menjadi bagian dari upaya mengatasi itu.
Gagasan untuk membayar reparasi atau perbaikan lain untuk perbudakan transatlantik memiliki sejarah panjang dan masih diperdebatkan secara mendalam. Tetapi telah mendapatkan momentum di seluruh dunia. "Tidak akan ada diskusi nyata tentang pembangunan tanpa diskusi tentang reparasi," kata Gaynel Curry yang ditunjuk Bahama sebagai anggota PFPAD.
Tahun lalu PFPAD menyarankan agar pengadilan khusus dibentuk untuk menangani reparasi. Justin Hansford, seorang profesor hukum Universitas Howard yang didukung Departemen Luar Negeri AS untuk melayani di forum tersebut, meminta negara-negara anggota PBB untuk mendanai PFPAD agar dapat terus melakukan tugasnya. "Dukunglah kata-kata Anda dengan tindakan," kata Hansford.
Perwakilan Khusus AS untuk Kesetaraan dan Keadilan Rasial, Desiree Cormier Smith, mengatakan AS harus menghadapi masa lalunya yang penuh dengan 'ketidakadilan rasial yang mendalam'. "Meskipun negara saya tidak pernah sepenuhnya menjalankan nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan untuk semua, kami juga tidak pernah meninggalkan nilai-nilai tersebut - dan ini sebagian besar berkat masyarakat sipil," katanya.