Sabtu 20 Apr 2024 15:05 WIB

Feri Amsari Optimistis MK akan Jadi Corong Keadilan

Feri juga menyoroti perubahan dramatis dalam perolehan suara di berbagai survei.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Kuasa Hukum Pemohon Feri Amsari (kiri) mengikuti sidang pengujian formil atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (9/12/2019).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Kuasa Hukum Pemohon Feri Amsari (kiri) mengikuti sidang pengujian formil atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (9/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Politik Hukum Kepemiluan dan Demokrasi Universitas Andalas, Feri Amsari menegaskan bahwa hakim konstitusi itu bukanlah corong undang-undang atau hukum. Namun, hakim merupakan corong keadilan yang tidak cuma membaca undang-undang.

"Jadi, hakim tidak menemukan undang-undang, wong semua orang baca undang-undang kok, untuk apa hakim kalau cuma sekadar baca undang-undang. Tapi, yang mau ditemukan hakim adalah keadilan," ujar Feri kepada wartawan, Sabtu (20/4/2024).

Baca Juga

Dalam kaitannya dengan sengketa Pilpres 2024, ia memberi dorongan agar hakim-hakim MK berani memberhentikan siapapun calon-calon yang terbukti melakukan pelanggaran. Termasuk, jika calon itu merupakan anak seorang presiden yang melantik mereka sebagai hakim-hakim konstitusi.

"Apakah Mahkamah Konstitusi berani memberhentikan anak presiden yang melantik dia, apakah Mahkamah Konstitusi berani kalau salah satu di antaranya adalah orang yang dititipkan melalui proses seleksi tidak adil dari hakim," ujar Feri.

Sebab, peristiwa penting yang mengubah dinamika Pilpres 202 adalah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan MK tersebut mengubah syarat untuk menjadi calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres), yakni berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Ia juga menyoroti perubahan dramatis dalam perolehan suara di berbagai survei. Terutama antara pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan Ganjar Pranowo-Mahfud MD setelah Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.

"Suara awal Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud pada awal-awal pemilu berada di tingkat bahwa Ganjar-Mahfud lebih unggul dari Prabowo-Gibran. Yang mengubah adalah putusan MK 90, pasangan Prabowo-Gibran naik, dan Ganjar-Mahfud turun sejak putusan MK 90," ujar Feri.

Adapun terkait kerumitan proses hukum atas penegakan keadilan dalam konteks pemilu, Feri menegaskan bahwa komposisi mayoritas hakim konstitusi dalam mengambil keputusan perlu diperhatikan lebih serius. Ia sekali lagi menekankan bahwa upaya penegakan keadilan tidak hanya soal mengikuti undang-undang, tetapi juga memerlukan transparansi dan kejelasan dalam prosesnya.

"Peristiwa rangkaian kecurangan dalam pemilu harus diungkapkan secara jelas kepada publik," ujar Feri.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement