REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo menyebutkan bahwa pihaknya sudah mendampingi anak usia tujuh tahun yang menjadi korban di Sampang, Madura.
"BKKBN dan Pemerintah Kabupaten Sampang sudah datang mendampingi dan mengedukasi. BKKBN sudah mengunjungi ke lapangan, ternyata usianya tujuh tahun itu sudah ditunangkan, tentu kami harus melakukan sosialisasi kepada dia, keluarganya dan kepada masyarakat dan kepada pemerintah daerah setempat supaya ini tidak dianggap biasa," kata Hasto yang ditemui media di Jakarta, Kamis.
Sebelumnya, kasus dugaan pertunangan anak di Sampang, Madura, Jawa Timur, sempat menjadi perbincangan warganet dan videonya ramai beredar di media sosial.
Hasto menjelaskan, di usia tujuh tahun fisik anak tentu belum siap baik secara fisiologis maupun biologis, bahkan fase menstruasi saja normalnya di usia delapan tahun.
"Jangankan tunangan dan nikah atau bahkan hubungan seksual, menstruasi tujuh tahun saja sudah tidak normal. Perempuan itu mestinya menstruasi paling cepat delapan tahun, kalau sebelum itu namanya pubertas prekoks (pubertas dini), dan itu pertumbuhannya terganggu, dia harus dirawat oleh dokter supaya menstruasinya ditunda sedikit," ujar dia.
Ia menekankan pentingnya pendewasaan usia menikah dan pentingnya edukasi kepada keluarga. "Menstruasi aja enggak boleh kurang dari delapan tahun, apalagi menikah, ini masih tujuh tahun sudah ditunangkan. Maka, edukasi itu penting," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur Maria Ernawati menjelaskan bahwa pihaknya juga sudah langsung mengunjungi keluarga yang bersangkutan di Kabupaten Sampang, Madura.
Ia menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab pertunangan tersebut yakni masih kentalnya budaya yang dianut oleh masyarakat Madura.
"Terkait dengan viralnya peristiwa pertunangan anak kemarin, saya langsung kunjungi keluarga bersangkutan, karena dari sisi budaya, ada empat budaya yang ada di Jatim ini, nah ini tentu saja latar belakang budaya ada macam-macam sekali," kata Erna.
Ia menjelaskan, di Jawa Timur ada Budaya Arek yang dianut oleh masyarakat sekitar Surabaya, kemudian Budaya Pandalungan di wilayah Tapal Kuda atau Madura, serta Budaya Mantaraman di wilayah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
"Terkait dengan perkawinan anak ini, faktor dari setiap budaya itu berbeda, kalau di daerah Madura dan Tapal Kuda itu biasanya faktor perkawinan anak lebih tinggi daripada Arek dan Mataraman," ujar dia.
Untuk itu, ia menegaskan bahwa Pemerintah Daerah Jawa Timur dan BKKBN telah berkolaborasi untuk melakukan pendampingan psikologis.
"Kalau budaya itu sudah viral dan dilakukan, maka yang perlu kita laksanakan adalah pendampingan terhadap psikologis anak kemudian orang tuanya agar punya komitmen pertunangan ini pada usia ideal," tuturnya.