REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Gambia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam ke-15 yang diselenggarakan di Banjul, ibu kota Gambia, pada 4-5 Mei 2024.
Menurut Persatuan Kantor Berita Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Sabtu, KTT Banjul itu mewakili peluang unik bagi negara-negara anggota OKI untuk meningkatkan kerja sama dalam mempromosikan aksi Islam bersama.
Selain itu, KTT Banjul juga memberi kesempatan bagi negara-negara anggota OKI untuk terlibat dalam dialog konstruktif mengenai isu-isu global dan tantangan yang dihadapi negara Islam.
Menteri Luar Negeri Gambia, Mamadou Tangara, menegaskan peran OKI dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi negara-negara anggota.
Senada dengan hal tersebut, Sekretaris Tetap Luar Negeri, Kerjasama Internasional Gambia, Lang Yabou, menekankan bahwa KTT tersebut diadakan pada saat dunia Islam sedang menyaksikan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang tidak dapat diabaikan.
Dia menyerukan agar negara-negara OKI mengambil tindakan tegas, berani dan komprehensif berdasarkan asas kemanusiaan dan pembangunan.
Gambia telah bergabung dengan OKI pada 1974, dan akan menjadi presiden OKI selama tiga tahun ke depan, menggantikan Arab Saudi.
Sejak bergabung dengan OKI, Gambia secara efektif memberikan kontribusi terhadap program dan inisiatif organisasi tersebut serta inisiatif internasional dalam melayani isu-isu dunia Islam di berbagai tingkatan.
Sebagai tuan rumah KTT Islam ke-15, Gambia telah melakukan upaya signifikan dalam mempersiapkan pertemuan puncak tersebut, membentuk sekretariat khusus, dan melaksanakan berbagai proyek di bidang infrastruktur, jalan dan layanan logistik.
Gambia pernah menjadi tuan rumah Konferensi Menteri Pariwisata Islam ke-8 yang diadakan di Banjul pada 6 Desember 2013, yang menghasilkan resolusi penting untuk meningkatkan pariwisata intra OKI.
Pada November 2019, Gambia mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional melawan pemerintah Myanmar dengan tuduhan melanggar Konvensi Genosida.
Kasus tersebut diajukan atas perintah negara-negara anggota OKI di tengah terjadinya pelanggaran serius terhadap etnis Rohingya di Myanmar.