Selasa 07 May 2024 21:01 WIB

Studi Temukan Suhu Panas Pengaruhi Ukuran dan Jenis Kelamin Lebah

Lebah bertubuh kecil dan bersuhu dingin rentan terhadap cuaca panas.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
(Foto: ilustrasi Lebah Madu).
Foto: Pixabay
(Foto: ilustrasi Lebah Madu).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seberapa baik lebah mentoleransi suhu ekstrem dapat menentukan kemampuan mereka untuk bertahan dalam iklim yang berubah. Namun, toleransi panas bervariasi antara dan dalam populasi, sehingga tim peneliti yang dipimpin oleh ahli entomologi Penn State meneliti ciri-ciri fisik lebah untuk memahami bagaimana hal itu berinteraksi dengan kondisi lingkungan, patogen, dan faktor lainnya.

Dalam studi yang dipublikasikan di Ecology and Evolution, para peneliti mengukur massa tubuh, iklim lokal, dan intensitas patogen untuk menilai bagaimana faktor-faktor ini memengaruhi toleransi terhadap panas dan variasi tingkat populasinya, di antara individu-individu dari spesies Xenoglossa pruinosa, yang umumnya dikenal sebagai lebah hoary squash. Mereka menemukan bahwa variasi dalam toleransi panas dipengaruhi oleh ukuran, jenis kelamin dan status infeksi lebah.

Baca Juga

"Serangga bertubuh kecil, ektotermik, atau berdarah dingin dianggap sangat rentan terhadap perubahan iklim karena kemampuan mereka untuk mempertahankan suhu tubuh yang tepat bergantung pada kondisi eksternal," kata penulis studi Laura Jones, yang memimpin penelitian ini sebagai kandidat doktoral di bidang ekologi di Penn State dan sekarang menjadi peneliti pascadoktoral di University of Texas di Austin.

"Memahami bagaimana organisme mentoleransi suhu ekstrem sangat penting untuk menilai ancaman perubahan iklim terhadap distribusi dan persistensi spesies,” tambah Jones seperti dilansir Phys, Selasa (7/5/2024).

Jones mencatat bahwa ada peningkatan minat untuk mempelajari toleransi panas dan kapasitas aklimatisasi ektoterm dalam menghadapi perubahan kondisi abiotik seperti suhu lingkungan. Namun hanya sedikit penelitian yang meneliti dampak biotik, seperti infeksi patogen, terhadap toleransi panas pada populasi alami yang dikombinasikan dengan faktor abiotik.

"Selain itu, ciri-ciri fisik seperti ukuran tubuh atau kandungan lemak dapat mempengaruhi bagaimana organisme mentoleransi suhu. Jadi sangat penting untuk mempertimbangkan kondisi individu, serta faktor abiotik dan biotik yang dialami individu di lingkungan alami, ketika mengevaluasi toleransi panas populasi,” jelas dia.

Sebagai penyerbuk tanaman Cucurbita seperti labu, lebah labu (hoary squash bee) adalah spesies soliter yang menunjukkan perbedaan jenis kelamin dalam hal fisiologi dan perilaku, menurut para peneliti. Betina lebih besar dari jantan dan mengumpulkan serbuk sari untuk keturunannya di pagi hingga tengah hari. Betina bersarang di bawah tanah, yang melindungi mereka dari variasi suhu udara, meskipun tekstur tanah dapat mempengaruhi tingkat penyangga panas karena tanah berpasir memiliki kapasitas panas yang lebih rendah.

Sebaliknya, jantan lebih kecil, mencari makan hanya untuk nektar, dan melindungi diri dari panas dengan bersembunyi di bunga yang layu setelah mereka selesai mencari makan pada tengah hari. Jadi, jantan terpapar pada suhu lingkungan yang lebih bervariasi daripada betina pada siang dan malam hari.

Para peneliti berhipotesis bahwa toleransi panas lebah akan meningkat seiring dengan ukuran tubuh; bahwa toleransi panas lebah jantan akan meningkat seiring dengan suhu lingkungan di atas tanah, sementara toleransi panas lebah betina akan meningkat seiring dengan tanah yang lebih berpasir; dan infeksi parasit akan mengurangi toleransi panas.

Untuk menguji hipotesis ini, para peneliti mengumpulkan lebah labu (hoary squash bee) dari 14 lokasi di Pennsylvania yang memiliki suhu, curah hujan, dan tekstur tanah yang bervariasi. Mereka mengukur suhu maksimum termal kritis individu (suhu di atas suhu di mana organisme tidak dapat berfungsi) sebagai proksi untuk toleransi panas dan menentukan intensitas relatif dari tiga kelompok parasit: protozoan parasite trypanosomes, patogen bakteri Spiroplasma apis, dan parasit mikrosporida Vairimorpha apis.

Tim menemukan bahwa ukuran tubuh, suhu lingkungan, dan infeksi parasit memiliki efek yang bergantung pada konteks dan jenis kelamin pada toleransi panas pada lebah labu. Meskipun kedua jenis kelamin menunjukkan korelasi positif antara toleransi panas dan ukuran, lebah labu jantan memiliki perubahan yang lebih besar pada suhu maksimum kritis per unit massa tubuh mereka dibandingkan dengan lebah betina.

“Ini menunjukkan bahwa mungkin ada sifat biologis lain yang memengaruhi dampak massa tubuh pada toleransi panas yang berbeda antara kedua jenis kelamin," ujar salah satu penulis studi Margarita Lopez-Uribe, profesor entomologi di Penn State's College of Agricultural Sciences.

Studi ini menunjukkan bahwa suhu maksimum harian rata-rata, curah hujan dan tekstur tanah tidak dapat memprediksi suhu maksimum kritis. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika suhu maksimum rata-rata tertinggi, variasi toleransi panas di antara individu lebih rendah, menunjukkan bahwa suhu ekstrem memfilter individu dengan suhu maksimum kritis tinggi dan rendah.

"Banyak spesies lebah dapat secara aktif mengontrol suhu tubuh mereka secara independen dari kondisi suhu lingkungan dan dengan demikian berpotensi mengurangi efek suhu ekstrem," kata para penulis.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement