REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo mengatakan, orang yang stunting berpotensi memiliki penghasilan 22 persen lebih rendah dari orang normal.
"Pendapatan orang yang stunting selisih 22 persen jika dibandingkan yang tidak stunting. Oleh karena itu, bagaimana bisa menanggung orang tuanya kalau anaknya saja stunting. Ini jadi masalah," ujar Hasto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (9/5/2024).
Hasto mengemukakan hal tersebut pada Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dan Percepatan Penurunan Stunting di Provinsi Bengkulu, Rabu (8/5/2024).
Menurutnya, kasus stunting dapat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan pendapatan per kapita daerah. Utamanya dalam menghadapi bonus demografi yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, sehingga sekolah dan perusahaan perlu berkolaborasi membuat program penurunan stunting.
"Sekarang ini sekolah vokasi dan kesempatan kerja harus dapat menurunkan stunting. Kalau tidak, nantinya yang ditanggung generasi muda adalah para orang tua yang populasinya merupakan generasi stunting," ujar dia.
Dokter spesialis kandungan ini menegaskan pentingnya memperhatikan kualitas perempuan, karena jika tidak mendapatkan edukasi dan asupan gizi dengan benar, di masa depan berpotensi menghasilkan para janda yang tidak produktif.
"Populasi orang tua berstatus janda lebih banyak daripada laki-laki. Miskin ekstrem juga akan didominasi oleh janda-janda yang sudah terlanjur tua dan tidak bisa diubah jadi produktif karena pendidikannya rendah," tuturnya.
Hasto juga menyoroti jumlah pemakaian kontrasepsi (KB) di beberapa kota dan kabupaten Provinsi Bengkulu yang berkontribusi menurunkan stunting.
"Ada risiko keluarga yang stunting. Ini kalau KB-nya bagus, risiko stunting-nya turun, tetapi ini ada yang anomali, di Kota Bengkulu pemakaian KB-nya rendah tapi stunting turunnya bagus," kata dia.
Sementara itu, Wakil Gubernur Provinsi Bengkulu Rosjonsyah Syahili Sibarani menekankan pentingnya konvergensi pusat ke daerah untuk menurunkan prevalensi stunting, salah satunya melalui pembaruan data penerima bantuan sosial dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Ia juga menekankan pentingnya memperkuat kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk menurunkan stunting.
"Ada kenaikan empat persen (stunting di Provinsi Bengkulu). Ini perlu strategi, tidak bisa kita sendiri. Ada TNI, Polri kita angkat jadi bapak asuh anak stunting, Babinsa juga turun ke bawah, intervensi kita bersama turunkan angka prevalensi stunting. Saya masih optimis target yang bisa dikejar apabila kita secara konvergensi dari pusat ke daerah betul-betul turun," katanya.