Jumat 10 May 2024 09:54 WIB

Gus Hilmy Ajak Jamaah Meneladani Prinsip Syekh Abdul Qadir al-Jilani

Syekh Abdul Qadir al-Jilani dijuluki sebagai sultonul auliya’ atau rajanya para wali.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Hilmy Muhammad.
Foto: Dokumen
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Hilmy Muhammad.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Tradisi membaca maulid, manaqib, dala’il, hizm merupakan tradisi yang mengakar bukan hanya di Indonesia, tapi juga berlaku di seluruh penjuru negera-negara Muslim di dunia, baik di negeri-negeri Asia, Eropa, maupun Amerika.

Bacaan-bacaan itu berasal dari tradisi dan kreasi para ulama, kiai, dan aulia. Isinya tentang bacaan-bacaan yang baik, doa-doa dan shalawat, serta pitutur-pitutur luhur tentang sejarah baik Kanjeng Nabi dan para ulama. Seperti Mawlid Diba’ dan Manaqib Syaykh Sayyid Abdul Qodir al-Jilani yang berisi sejarah dan hal-hal baik tentang Kanjeng Nabi dan Syaykh Abdul Qadir al-Jilani.

Salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta Hilmy Muhammad, menyatakan bahwa Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang ditulis oleh Sayyid Ja’far al-Barzanji, penulis Mawlid al-Barzanji, telah berusia 850 tahun. Akan tetapi bacaan tersebut masih terus dibaca dan diacarakan di berbagai komunitas muslim. 

"Manaqib Syekh Abdul Qadir telah berusia 850 tahun. Tapi sampai hari ini masih terus dibaca di mana-mana. Tidak hanya Sayyid Ja’far al-Barzanji yang menulis tentang beliau, tetapi ada lebih dari 70 buku yang ditulis oleh para kiai, tapi juga para akademisi, para doktor dalam berbagai bahasa. Hal ini menunjukkan kapasitas dan kealiman beliau yang luar biasa, yang menginspirasi sedemikian banyak orang hingga menulis kisah dan karamahnya," kata pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut dalam acara Pembacaan Manaqib Syaykh Abdul Qadir al-Jilani dan Mawlid Diba’i ayng diselenggarakan oleh Jamaah Kanzul Hidayah di Pondok Pesantren al-Hadi, Krapyak Wetan, Panggungharjo, Sewon, Bantul pada Kamis (9/5/2024) malam.

photo
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Hilmy Muhammad. - (dokpri)
 

Lebih lanjut, pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tersebut, menjelaskan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jilani juga dijuluki sebagai sultonul auliya’ atau rajanya para wali. Di antara yang membuat beliau demikian adalah karena memiliki prinsip tawadlu atau rendah hati.

"Beliau dijuluki sebagai sultonul auliya’ atau rajanya para wali. Nama beliau selalu disebut-sebut dalam tawasul tahlil dan doa-doa dari zaman ke zaman hingga saat ini. Bukan sebab kekeramatan beliau bisa terbang, atau bisa berjalan di atas air. Beliau sedemikian hebat karena salah satunya, beliau memiliki prinsip ajaran tawadlu atau rendah hati. Intinya adalah menganggap orang lain lebih hebat, lebih baik, lebih mulia daripada kita. Kepada siapapun, baik orang yang lebih muda, apalagi yang lebih tua. Juga kepada orang yang lebih pintar, atau bahkan kepada yang masih bodoh. Ajaran tersebut benar-benar dipraktikkan dalam keseharian yang menjadikan beliau sebagai tokoh yang sedemikian mulia dan terhormat," tutur anggota Komisi Fatwa MUI Pusat tersebut.

Gus Hilmy mengajak pada jamaah bahwa selain untuk bermunajat, majelis-mejalis seperti ini penting pula untuk lebih mengenal para ulama agar dapat meneladani sifat-sifat atau kebiasaan-kebiasan baik mereka. 

"Adanya majelis-majelis seperti ini, disamping dalam rangka berdoa dan bermujahadah, juga diharapkan bisa memberi pemahaman kepada masyarakat tentang tokoh dan kebiasaan-kebiasaan baik mereka, agar masyarakat bisa semakin mengenal, dan kemudian meniru serta meneladani mereka dalam berbagai aspek kehidupan," kata Gus Hilmy.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement