REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di hadapan media Jerman, Handelsblatt menegaskan bahwa Indonesia ingin diperlakukan secara adil oleh Uni Eropa.
Hal ini dikarenakan alotnya proses negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) yang tak kunjung usai dalam 7 tahun terakhir.
“Hal ini melihat bagaimana Eropa memperlakukan Indonesia secara berbeda, misalnya dengan Vietnam dan Thailand. Negosiasi IEU-CEPA tak kunjung usai dalam 7 tahun terakhir. Padahal Indonesia memiliki peran besar dalam tatanan perekonomian dunia. Indonesia tidak mau menunggu terlalu lama,” kata Airlangga dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (17/5/2024).
Airlangga menyinggung kepemimpinan Indonesia dalam gelaran G20 pada 2022 lalu, di mana suara negara-negara selatan juga diperhitungkan. Hal ini menunjukkan adanya inklusivitas.
“Hal yang sama terjadi terhadap Israel dan Hamas, ketika harga minyak naik, orang-orang di jalanan (Indonesia) yang akan menderita. Kami tidak ingin penderitaan ini dirasakan secara global. Sehingga apabila kita bisa membantu mereka, itu akan membantu masyarakat Indonesia juga,” tegas Airlangga.
Dalam kesempatan tersebut, Airlangga menyampaikan bahwa Indonesia membuka peluang investasi dari semua pihak. Menurutnya, investasi tidak memiliki bendera, Indonesia sangat terbuka menerima investasi dari berbagai pihak.
Contohnya sebelum adanya investasi di nikel, Indonesia mengekspor baja hanya 2 miliar dolar AS pada 2014, namun sekarang jumlahnya mencapai 26-30 miliar dolar AS dalam setahun. Hal ini menurut Airlangga menjadi nilai tambah bagi masyarakat Indonesia.
Airlangga menambahkan bahwa di masa depan nikel Indonesia juga akan berbasis energi hijau melalui pabrik peleburan yang dioperasikan dengan tenaga air, pembangkit listrik tenaga gas, atau bahkan pembangkit listrik tenaga surya.
Akan dilakukan transisi energi di Indonesia. Namun di sisi lain, Indonesia harus tetap kompetitif dengan produk yang dihasilkan, sehingga biaya menjadi hal yang krusial. Meski begitu, green nickel dan pertambangan berkelanjutan akan terus berproses secara bertahap.
Lebih lanjut, Ia tidak menganggap pembatasan perdagangan menjadi rintangan dalam negosiasi perdagangan bebas dengan Uni Eropa.
Menurutnya, Indonesia berhak mengelola hasil alamnya sendiri. Pemberlakuan larangan ekspor bahan mentah yang belum diolah tentunya bertujuan agar Indonesia memiliki daya saing global. Dengan begitu, Indonesia dapat membawa nilai tambah ke dalam negeri yang membawa keuntungan bagi rakyat Indonesia.
Optimisme Airlangga terhadap cita-cita Indonesia menjadi negara maju juga disebutkan dalam wawancara tersebut.
Saat ini Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-16. Jika di tahun 2045 nanti jumlah penduduk Indonesia sekitar 320 juta orang dengan produk domestik bruto (PDB) 30.000 dolar AS per kapita, berarti Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian sejumlah 9 triliun dolar AS.
“Saat ini Jerman memiliki ekonomi sekitar 4 triliun dolar AS. Jadi anda bisa membandingkan seberapa besar Indonesia di 2045 nanti. Namun tentunya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, di antaranya tentu upaya value added akan dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia,” tutupnya.