REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menyatakan bahwa perlu ada konsolidasi antara berbagai pihak. Termasuk asosiasi, perusahaan asuransi, maupun pengurus rumah sakit, untuk menciptakan transparansi informasi untuk menekan dampak inflasi medis.
"Kami di industri asuransi jiwa berupaya untuk menekan biaya klaim kesehatan melalui berbagai langkah strategis, di antaranya konsolidasi dengan rumah sakit guna menciptakan transparansi informasi," kata Togar Pasaribu dilansir ANTARA dari Jakarta, Jumat (17/5/2024).
Ia pun menuturkan bahwa upaya tersebut membutuhkan sinergi seluruh perusahaan asuransi jiwa dalam menyamakan pemahaman dan berbagai informasi yang diperoleh untuk mendapatkan data klaim yang akurat. Masyarakat pun perlu diberikan edukasi mengenai inflasi medis yang saat ini sedang terjadi.
"Kami juga sepenuhnya mendukung berbagai kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, yang memang menjadi pengendali inflasi medis," ucap Togar.
Ia mencatat bahwa klaim asuransi kesehatan meningkat secara signifikan dalam tiga tahun terakhir. Rata-rata peningkatan hampir 30 persen akibat inflasi medis.
Sejak Januari hingga akhir Desember 2023, total klaim terkait kesehatan mencapai Rp 20,83 triliun, atau meningkat 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Angka tersebut lebih tinggi daripada jumlah premi yang diperoleh, yakni hanya mencapai Rp15,07 triliun, atau naik sebesar 2 persen yoy.
Ia mengatakan bahwa tingginya nilai klaim tersebut kemungkinan dapat berdampak pada peningkatan nilai premi. Selain itu, hal tersebut juga dapat menimbulkan ketidakcukupan nilai asuransi yang dimiliki pemegang polis untuk menutupi biaya kesehatan yang terus melonjak.
Togar menyampaikan bahwa inflasi medis tidak terjadi hanya di Indonesia, melainkan secara global disebabkan oleh meningkatnya biaya tenaga kerja kesehatan, perawatan, serta obat. Ia juga menuturkan bahwa teknologi kesehatan yang terus berkembang juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan biaya perawatan meningkat.
"Di Indonesia sendiri, faktor melemahnya rupiah menjadi faktor yang memperburuk inflasi medis dalam negeri, mengingat masih adanya obat maupun alat kesehatan yang diperoleh secara impor," ujarnya.