REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putri pertama Bung Hatta, Meutia Farida Hatta mengungkapkan, mengungkapkan dasar pemikiran Bung Hatta terkait kemiskinan dan keadilan sosial berpijak pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kepada Republika beberapa waktu lalu, Meutia mengatakan kemerdekaan Indonesia bagi Bung Hatta memiliki makna mendalam, terutama kepada seluruh rakyat Indonesia.
Rakyat harus mengetahui dan memahami Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, setiap warga negara harus terus belajar, terutama bagi generasi muda penerus bangsa. Setelah kemerdekaan dicapai, Bung Hatta menilai kedaulatan perlu dijaga. Prinsip yang dikedepankan adalah persatuan. Bukan sekadar berbangsa, rakyat perlu hidup bersama dan memiliki perasaan sehati.
Perihal ketimpangan ekonomi dan sosial, Meutia menyebut pemikiran Bung Hatta dapat terlihat pada sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Semua agama berbicara perihal keadilan dan kemakmuran.
"Jadi, bangsa Indonesia miskin itu bisa terjadi karena terlahir dalam kemiskinan. Tapi (dalam) UUD 1945, dan itu ayah saya yang mengonsep, rakyat Indonesia tidak boleh miskin terus sampai mati," kata Meutia.
Oleh karena itu, dalam UUD 1945 pasal 33 dan 34 berada dalam satu bab, Kesejahteraan Sosial. Pasal 33 mengandung unsur perekonomian, sedangkan pasal berikutnya mengamanatkan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
"Jadi, cita-cita kemerdekaan yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur adalah cita-cita kemerdekaan dari pendiri negara. Nah, di situ Bung Hatta banyak peran karena memikirkan kalau kita merdeka, merdekanya harus bagaimana? Menjadi negara seperti apa? Kita kan negara kepulauan. Kita harus mengangkat kebersamaan," ujar Meutia.
Doktor dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Fadli Zon, menilai masalah ketimpangan yang mengemuka dewasa ini merupakan wujud dari tidak diimplementasikannya Pasal 33 UUD 1945 yang digagas Bung Hatta. Tidak hanya itu, banyak aspek yang sudah menyimpang dari pasal tersebut.
"Misalnya, ekonomi disusun berdasarkan asas kekeluargaan atau berdasarkan suatu koperasi, tapi kan koperasi tidak lagi menjadi gerakan. Kurang didukung oleh pemerintah," kata Fadli kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Wakil ketua DPR ini menyampaikan disertasi bertajuk "Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta 1926-1959" untuk meraih gelar doktornya pada tahun lalu. Selain perihal koperasi, Fadli menjelaskan, BUMN yang seharusnya menjadi mesin untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus penyumbang bagi APBN justru malah menampilkan sisi sebaliknya.
BUMN malah ikut menggerogoti APBN melalui PMN dan banyak merugi. Imbasnya, negara tidak mendapatkan hasil sesuai dengan perintah konstitusi kita, yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
"Ini yang menurut saya menyimpang dari prakteknya," kata politikus Partai Gerindra ini.