REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Sembilan puluh tahun lalu, sekitar 81 pemuda dari berbagai perkumpulan pada 28 Oktober 1928 mencetuskan Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Puluhan pemuda itu berkumpul di Gedung Sumpah Pemuda di Jalan 106, Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat.
Ketika itu, gedung yang kini menjadi museum yang berdiri di atas tanah seluas 1.041 meter tersebut terdiri dari gedung utama seluas 460 m2 dan sejumlah pavilyun massing-masing seluas 45 m2. Di gedung utama itulah para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi kedaerahan menghadiri kongres pemuda yang berlangsung sejak sehari sebelumnya.
Kepala Museum Drs Agus Nugroho mau bersusah payah mengantarkan saya mengelilingi museum bersejarah tersebut. Di gedung utama, saya menjumpai Wage Rudolf Soepratman, dengan biolanya, tengah membawakan lagu Indonesia Raya, yang kala itu berjudul Indonesia, tanpa Raya. Di depannya duduk tiga orang pimpinan sidang.
Dewasa ini terjadi silang pendapat tentang lagu Indonesia Raya, khususnya ketika mantan menteri pemuda dan olahraga, Roy Suryo mengumumkan penemuan lirik lagu Indonesia Raya di perpustakaan Leiden, Belanda. Pengakuan itu pun membuat heboh.
Agus Nugroho memberikan kepada saya syair lagu asli Indonesia Raya, yang diperdengarkan pertama kali pada 28 Oktober 1928 di Indonesische Clubgebouw nama gedung tersebut pada masa Hindia Belanda. Lagu kebangsaan yang didapatkan Roy Suryo adalah yang diperdengarkan dalam suatu acara pada pemerintahan Dai Nippon, tahun 1944. Lagu itu dikumandangkan dalam suatu rapat raksasa di Jakarta yang dihadiri ribuan massa.
Pihak Museum Sumpah Pemuda tidak berani berspekulasi mengenai tempat saat dikumandangkan lagu tersebut di depan massa. Tapi, saya menduga tempatnya di Lapangan IKADA (kini Monas), mengingat lapangan ini sering dijadikan tempat oleh Jepang yang tengah berperang melawan sekutu untuk menggerakkan rakyat Indonesia anti-Amerika yang langsung dipimpin Jenderal Ikamura.
Ketika itu, untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang mencanangkan gerakan 3A, yakni Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia dan Jepang Pemimpin Asia. Gerakan 3A, yang juga diartikan Aku Anti Amerika, selalu dilakukan Jepang di lapangan-lapangan terbuka.
Apa yang ditemukan Roy Suryo adalah lirik lagu yang dinyanyikan pada masa pendudukan Jepang itu. Dan, benar terdiri dari tiga stanza (bait). ”Seluruhnya adalah ciptaan Wage Rudolf Soepratman,” kata Agus Nugroho.
Ia sekaligus membantahnya sebagai penemuan Roy Suryo, karena sejak tahun 2002 pihak museum telah menyosialisasikannya ke masyarakat. ”Yang jelas para pandu (pramuka) hapal ketiga stanza itu,” katanya.
WR Soepratman, yang tanggal dan tempat kelahirannya tidak diketahui pasti, sudah sejak lama ingin menyumbangkan sesuatu bagi perjuangan bangsanya. Tetapi, ia tidak tahu bagaimana caranya, karena ia hanya seorang wartawan dan pemain musik.
Suatu hari, secara kebetulan ia membaca artikel berjudul Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia yang Dapat Membangkitkan Semangat Rakyat dalam majalah Timboel terbitan Solo. Hati Soepratman tergerak. Tulisan itu seolah ditujukan kepada dirinya.
Tidak ada catatan yang pasti kapan Soepratman menulis lagu kebangsaan. Ada pendapat yang menyatakan ia menciptakannya tahun 1926. Pada Kongres Pemuda Pertama (1926), Soepratman yang hadir ingin menawarkan kepada ketua kongres agar ia diberi kesempatan memperdengarkan lagu itu di hadapan para peserta.
Tetapi, saat itu keberaniannya belum cukup. Ia membatalkan niatnya. Baru pada Kongres Pemuda Kedua, tanggal 28 Oktober 1928, pada malam penutupan, WR Soepratman dengan gesekan biolanya mengiringi sebarisan paduan suara membawakan lagu Indonesia Raya.
Dua bulan kemudian ode tersebut menjadi sangat populer. Anggota Kepanduan Indonesia termasuk salah satu pihak yang memperkenalkan lagu tersebut ke masyarakat. Karena, di dalamnya ada kata-kata ”menjadi pandu ibuku”.
Soepratman juga telah mengabadikan lagu perjuangan itu ke dalam piringan hitam. Gagal menghubungi His Master Voice di Inggris, ia kemudian menghubungi Yo Kim Tjan. Sampai suatu ketika, di studio yang bersahaja, Soepratman memainkan biola sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan dua irama, mars dan keroncong.
Master rekaman dibuat dari lilin yang dibekukan dalam suhu rendah. Yo Kim Tjan memasarkan lagu tersebut dengan harga dua picis (20 sen). Karena beberapa kali dinyanyikan di depan umum, Soepratman diintrogasi PID (intel Belanda). Dia ditanya mengapa memakai kata ”merdeka – merdeka”. Ia menjawab, kata-kata itu hasil ubahan orang lain, sebab lirik naskah aslinya ”mulia-mulia”.
Protes atas pelarangan lagu itu berdatangan dari berbagai pihak. Volkraad turun tangan. Akhirnya, kata ”merdeka-merdeka” boleh dinyanyikan di ruang tertutup. Setelah menderita kekalahan di mana-mana, Jepang membentuk Panitia Lagu Kebangsaan pada 1944.
Panitia yang diketuai Ir Soekarno melakukan beberapa perubahan atas naskah asli Soepratman. Perubahan cukup besar terjadi pada refrain lagu 1928.
Kata-kata Indones, Indones, moelia, moelia, tanahkoe, neg’riku yang koecinta. Indones, Indones, moelia, moelia, hidoeplah Indonesia Raja, diubah menjadi Indonesia Raya. Merdeka, merdeka. Tanahku, negeriku yang kucinta. Indonesia Raya. Merdeka, merdeka. Hiduplah Indonesia Raya.
Sampai Jepang angkat kaki dari Indonesia, format lagu Indonesia Raya belum seragam. Pada 26 Juni 1958 keluarlah Peraturan Pemerintah tentang lagu Indonesia Raya yang di dalamnya termuat tata tertib penggunaan, nada, irama, kata dan gubahan lagu.
Yang pasti, lagu Indonesia Raya yang asli berdurasi tiga menit 49 detik merupakan lagu kebangsaan terpanjang di dunia. Bila pada tiap tanggal 17 Agustus kita memperingati HUT Kemerdekaan RI, berarti sekaligus merupakan hari wafat WR Soepratman. Karena, ia wafat pada 17 Agustus 1939, di Surabaya.