REPUBLIKA.CO.ID, Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien wafat dalam pembuangannya di Sumedang. Namun makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959.
Pencarian makamnya dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Pada batu nisan makam Cut Nyak Dien, diketahui terangkum riwayat hidupnya, kemudian tertera juga Surah at-Taubah dan al-Fajr, serta hikayat rakyat Aceh.
Siapa tak kenal Cut Nyak Dien. Pejuang perempuan dari Tanah Rencong. Namanya dikenang abadi dalam catatan sejarah perjuangan Indonesia berkat keberanian dan kegigihannya melawan pasukan kolonial Belanda. Walaupun pada akhirnya ia berhasil dibekuk dan wafat dalam pengasingan di Sumedang, Jawa Barat.
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, pada 1848. Ia keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang (golongan bangsawan Aceh yang memimpin sebuah kenegerian/nanggroe setingkat kabupaten) di VI Mukim.
Kendati dari kalangan bangsawan, keluarga Cut Nyak Dien dikenal sebagai keluarga yang sangat taat melaksanakan perintah atau syariat Islam. Karena itu, sejak dini Cut Nyak Dien sudah dibekali dengan ilmu agama oleh keluarganya.
Masa perjuangan Cut Nyak Dien dimulai sejak 26 Maret 1873. Kala itu Belanda telah menyatakan perang kepada Aceh. Tak tanggung-tanggung, pasukan yang dikerahkan Belanda untuk berperang melawan rakyat Aceh berjumlah sekitar 3.198 prajurit.
Pada 8 April 1873, pasukan Belanda, di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler, mendarat di Pantai Ceureumen, dan berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Tak hanya menguasai, Kohler dan pasukannya pun membakar masjid tersebut di hadapan rakyat Aceh. Cut Nyak Dien yang melihat peristiwa tersebut seketika memberang.
Ia pun berseru, "Lihatlah wahai orang-orang Aceh, tempat ibadah kita dirusak! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita menjadi budak Belanda?"
Kendati berhasil memenangkan perang pertama dan menewaskan pimpinan pasukan Belanda, yakni Kohler, pertempuran belum berakhir. Di bawah pimpinan berikutnya, yakni Jenderal Han van Swieten, daerah VI Mukim, yang notabene tempat tinggal Cut Nyak Dien, berhasil dikuasai Belanda. Setahun berikutnya, Keraton Sultan pun jatuh. Hal itu membuat Cut Nyak Dien dan rombongan kaum ibu lainnya di sana mengungsi pada Desember 1875.
Pada 29 Juni 1878, suami Cut Nyak Dien, yakni Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran melawan Belanda ketika tengah berupaya merebut kembali VI Mukim. Hal itu membuat Cut Nyak Dien semakin geram dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Makam Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang.
Pada momen ini, tokoh pejuang rakyat Aceh lainnya, Teuku Umar, akhirnya melamar Cut Nyak Dien. Pada awalnya Cut Nyak Dien menolak pinangan tersebut. Namun, karena Teuku Umar mengizinkan dan mempersilakannya untuk terjun dalam pertempuran melawan Belanda, Cut Nyak Dien akhirnya menerima dan menikah dengannya pada 1880. Hal tersebut meningkatkan moral semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan kaphe ulanda (Belanda Kafir).
Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien kembali berjuang untuk melawan pasukan Belanda. Pada 1893, Teuku Umar sempat melakukan siasat dengan berpura-pura menyerahkan diri dan menjalin kerja sama dengan Belanda. Hal itu dilakukan untuk mengetahui berbagai strategi perang Belanda.
Siasat itu berhasil dilaksanakan. Setelah tiga tahun berkamuflase, Teuku Umar kembali berbalik memerangi Belanda. Tak ayal Belanda harus terus menerus mengganti jenderal perangnya di Aceh kala itu. Namun nahas, pada Februari 1899, Teuku Umar harus wafat akibat tertembak oleh pasukan Belanda dan Cut Nyak Dien kembali kehilangan suaminya.
Kepergian Teuku Umar sangat memukul perasaan Cut Gambang, anak Cut Nyak Dien dari pernikahannya dengan Teuku Umar. Di tengah kesedihan Cut Gambang, Cut Nyak Dien sempat berkata, "Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata kepada orang yang sudah syahid."
Kendati kembali harus kehilangan suami, hal itu tak membuat Cut Nyak Dien gamang dan mengerutkan naluri perjuangannya. Ia memimpin pertempuran melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.
Namun, kondisi Cut Nyak Dien memang semakin renta. Matanya pun mulai rabun. Melihat kondisi demikan, sisa pasukan yang dipimpinnya merasa sangat iba dan tak tega padanya. Karena perasaan iba dan tak tega itu, salah satu pasukan Cut Nyak Dien, yakni Pang Laot Ali, akhirnya memberikan informasi terkait keberadaan markasnya bersama Cut Nyak Dien kepada Belanda.
Cut Nyak Dien akhirnya berhasil ditangkap Belanda dan dibawa ke Banda Aceh, sebelum akhirnya dibuang ke Sumedang Jawa Barat pada akhir 1906. Kendati demikian, Cut Gambang, berhasil melarikan diri ke tengah hutan ketika ibunya dikepung Belanda. Hingga dua tahun kemudian, Cut Nyak Dien wafat di pengasingan.