REPUBLIKA.CO.ID, Ibu Prabu atau Ibu Suci, panggilan penghormatan itu diberikan warga Sumedang kepada Cut Nyak Dien. Pahlawan asal Tanah Rencong itu sangat dihormati warga Sumedang, daerah tempat Cut Nyak Dien diasingkan seusai ditangkap tentara Belanda.
Cut Nyak Dien menghabiskan dua tahun masa baktinya di Sumedang. Pada 1906, Cut Nyak Dien ditangkap Belanda, dibuang ke Sumedang guna menghindari komunikasi dengan pejuang Aceh lainnya.
Setelah suaminya, Teuku Umar, wafat pada 1899, Cut Nyak Dien harus seorang diri memimpin perjuangan rakyat Aceh dalam melawan kolonial Belanda. Ia beserta pasukan kecilnya bergerilya, bertempur dengan Belanda di pedalaman Meulaboh.
Setelah bertahun-tahun memimpin pertempuran di pedalaman Meulaboh, kondisi Cut Nyak Dien pun semakin menurun. Penglihatannya pun mulai rabun hingga membuat para pasukan yang bersamanya merasa iba melihat kondisi Cut Nyak Dien.
Karena perasaan iba dan tak tega itu, salah satu pasukannya bernama Pang Laot Ali memberi tahu Belanda tentang keberadaan Cut Nyak Dien beserta pasukannya. Dalam Biografi Pahlawan Kusuma Bangsa, Pang Liot Ali meminta syarat kepada Belanda agar merawat Cut Nyak Dien. Berkat laporan Pang Laot Ali itu, Belanda pun akhirnya bisa menangkap Cut Nyak Dien dan membawanya ke Banda Aceh.
Tapi, meski ditawan, Cut Nyak Dien masih menjalin komunikasi dengan para pejuang lainnya yang belum mau tunduk terhadap Belanda. Karena itu, Belanda memutuskan mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang bersama dua orang pasukan kepercayaannya pada akhir 1906. Dua tahun kemudian, atau tepatnya 6 November 1908, Cut Nyak Dien menghembuskan napas dalam usia 60 tahun.
Selama pengasingan, ia ditempatkan di sebuah rumah milik tokoh Sumedang kala itu, KH Ilyas, di kampung Kaum, Kelurahan Regol Wetan, yang jaraknya tak jauh dari Masjid Agung Sumedang. Menurut keterangan, Cut Nyak Dien diasingkan ke rumah itu atas permintaan Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suria Atmaja, yang tak tega menempatkan Cut Nyak Dien di penjara, seperti titah Gubernur Jenderal Belanda JBV Heuts.
Cut Nyak Dien
Di rumah itu, Cut Nyak Dien menghabiskan waktunya dengan mengajar penduduk sekitar mengaji Alquran dan bahasa Arab. Penduduk Sumedang lebih mengenal Cut Nyak Dien dengan Ibu Prabu atau kadang disebut juga ibu suci.
“Ia kemudian menjadi pejuang, pejuang dakwah,” tutur Dadang pemilik sekaligus penerus rumah tempat Cut Nyak Dien diasingkan, saat ditemui Republika.co.id tiga tahun lalu.
Makam Cut Nyak Dien berada di Kampung Gungun Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang. Pada batu nisan makam Cut Nyak Dien, diketahui terangkum riwayat hidupnya, kemudian tertera juga surah at-Taubah dan al-Fajr, serta hikayat rakyat Aceh.
Berdasarkan keterangan, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959 atas permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan, yang meminta untuk dilakukan pencarian makam Cut Nyak Dien di Sumedang berdasarkan data Belanda.
Dalam dokumennya, Pemerintah Belanda hanya menyebut ada satu tahanan politik perempuan Aceh yang dikirim ke Sumedang. Sehingga dapat disimpulkan, Ibu Prabu adalah Cut Nyak Dien. Catatan itu tertuang dalam surat keputusan nomo 23 (colonial verslag 1907:12). Disebutkan bahwa Belanda mengasingkan seorang tahanan politik perempuan bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana yang berusia 15 tahun.