Kamis 08 Sep 2016 07:00 WIB

Alasan Warga Betawi Harus Pasang Petasan Saat Hajatan

Red: Karta Raharja Ucu
Menyulut petasan, salah satu ritual penting dalam perayaan Tahun Baru Cina (ilustrasi)
Foto:

Ketika terjadi revolusi fisik 1945, penduduk Jakarta yang sekarang berjumlah 14 juta jiwa, hanya setengah juta jiwa. Karena Belanda membangun kota ini hanya untuk 800 ribu jiwa. Jalan Thamrin dan Jl Sudirman masih tanah dan bila hujan sulit dilalui. Kawasan Kuningan masih menjadi tempat peternakan sapi dan penjual susu. Demikian juga Buncit dan Kemang.

Pasar Minggu dan Ragunan masih sawah dan kebun buah-buahan. Jadi, yang disebut kampung saat itu masih sunyi senyap. Paling-paling hanya ada enam atau tujuh rumah. Satu atau dua kilometer dari sebuah kampung baru terdapat kampung lainnya. Begitu seterusnya.

Kalau ada satu kampung ingin mengadakan hajatan, seperti menikahkan anak atau khitanan, bahkan menunaikan ibadah haji, undangan dengan membunyikan petasan paling efektif. Kampung yang mendengar rentetan bunyi petasan akan bertanya-tanya, "Dari mane tuh datangnye petasan?" Kemudian ada yang memberi tahu, "Oh, si Anu ingin menikahkan anaknya.” Atau, "Si Anu ngundang ingin pegi haji.”

Ketika petasan dipasang di Kemang, maka penduduk di Kampung Mampang yang berdekatan akan bertanya-tanya ada apa orang Kemang masang petasan. “Oh si Anu mengundang ingin nikahkan anaknya.”

Waktu itu, banyaknya petasan menunjukkan status sosial seseorang. Makin banyak memasang petasan, ia akan makin mendapat pujian. "Oh, si Anu yang mau pegi haji petasannya sampai segerobak,” kata orang yang mendengarnya. Sampai sekarang, di kampung-kampung pinggiran Jakarta apabila besan datang ke rumah calon mempelai wanita akan dibunyikan berenteng-renteng petasan.

Kala itu juga ada petasan impor dan petasan lokal. Petasan impor dari Jepang dan petasan lokal dari Parung, Kabupaten Bogor. Petasan impor bukan saja harganya lebih mahal, namun suaranya juga lebih keras dan nyaring. Sedangkan petasan Parung tidak begitu keras, dan tidak menjadi kebanggaan. "Ah, petasan kampung," ejekan yang sering dikemukakan kala itu.

Menurut tokoh Betawi, H Irwan Syafi’ie, dulu petasan bagi orang Betawi juga untuk membangunkan warga saat makan sahur. Warga Betawi juga memasang petasan saat Idul Fitri, dikaitkan dengan kagembiraan setelah berpuasa selama sebulan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement