Selasa 01 Oct 2024 09:44 WIB

Profil Pahlawan Revolusi, MT Haryono

Sebelum menjadi perwira, MT Haryono pernah ikut dalam delegasi Indonesia di KMB.

Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Mas Tirtodarmo Haryono.
Foto: dok kemendikbud
Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Mas Tirtodarmo Haryono.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Mas Tirtodharmo Haryono adalah seorang perwira militer dan pahlawan revolusi. Ia lahir di Surabaya (Jawa Timur) pada 20 Januari 1924. Sebelum berkarier di dunia militer, ia menempuh pendidikan kedokteran Ika Daigaku Jakarta, yang didirikan oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Seperti dilansir laman resmi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), MT Haryono merupakan sosok yang cerdas. Ia mahir berbahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Pada 1948, dirinya pernah menjadi kepala biro penerangan dan juru bicara Staf Angkatan Perang RI.

Baca Juga

Dlama Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 1949, MT Haryono adalah perwira termuda yang diperbantukan dalam delegasi RI. Di sana, ia bertugas sebagai sekretaris untuk para pemimpin tentara, termasuk Kolonel TB Simatupang dan Letnan Kolonel Daan Jahja.

Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, MT Haryono diangkat sebagai atase pertahanan di Kedutaan Besar RI di Den Haag. Pengangkatan ini terjadi 22 hari setelah pernikahannya pada 2 Juli 1950 dengan Muriatni.

Selama bertugas di Belanda, ia menghadapi dua masalah besar. Pertama, terkait dengan penemuan kapal Blitar dan Talisse yang memuat senjata selundupan ke Papua Barat. Insiden ini sempat memicu ketegangan antara RI dan pemerintah Belanda. Kedua, ia sendiri menjadi target percobaan pembunuhan yang dilakukan sekelompok veteran perang Belanda. Usaha ini berakhir gagal.

Kembali ke Indonesia, MT Haryono memegang sejumlah posisi penting, termasuk sebagai pemimpin organisasi intelijen Angkatan Darat pada 1959. Dalam jabatan ini, bersama Sutoyo Siswomihardjo dan Siswondo Parman, ia menyelidiki skandal bisnis yang melibatkan Kolonel Suharto, panglima Divisi Diponegoro di Jawa Tengah.

Setahun sebelum kematiannya, Haryono naik pangkat menjadi mayor jenderal dan menjabat sebagai Deputi III Menteri Panglima Angkatan Darat. Seperti umumnya perwira AD, ia pun terkenal anti-Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada dini hari 1 Oktober 1965, MT Haryono dijemput paksa oleh pasukan yang berseragam Cakrabirawa. Mereka dipimpin oleh Sersan Bungkus.

Karena melawan, Haryono ditembak di tempat dan dibawa ke Lubang Buaya. Di kawasan Jakarta Timur itu, jenazahnya kemudian ditemukan bersama enam perwira lainnya. Pada 5 Oktober 1965, untuk menghormati jasa-jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Jenderal Anumerta.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement