REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Imam Mahdi, menurut Ensiklopedi Islam, adalah juru selamat di akhir zaman. Istilah ini muncul dan berhubungan dengan akidah mahdawiyyah, yakni keyakinan di akhir zaman akan datang seorang yang akan menyelamatkan kehidupan umat manusia di muka bumi dari ketidakadilan, kesengsaraan, dan kekejaman. Bahkan terdapat sejumlah hadis, yang
dipercaya baik oleh kelompok Sunni maupun Syiah tentang akan datangnya Imam Mahdi.
Masalahnya adalah, sejak abad pertama tahun Hijriah hingga sekarang tidak sedikit --kalau mau disebut puluhan-- mereka yang mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi. Pada masyarakat Jawa, Imam Mahdi dikenal dengan konsep Ratu Adil, yaitu seorang tokoh atau pemimpin yang memiliki sosok seperti Imam Mahdi.
Pada 1886, seperti dikisahkan dalam buku sejarah Jakarta Kota Joang yang diterbitkan Dinas Museum dan Pemugaran Pemprov DKI, di Ciomas yang terletak di lereng Gunung Salak, ada seorang bernama Arpan. Melihat para petani diperlakukan sewenang-wenang oleh tuan tanah de Steurs, ia pun melakukan pemberontakan. Oleh para pengikutnya yang berjumlah ratusan, Arpan dipercaya sebagai Imam Mahdi yang akan membela nasib dan membebaskan mereka dari penderitaan yang tidak manusiawi.
Disebutkan Ciomas yang terletak di Kabupaten Bogor, 'diperintah' oleh tuan tanah de Steurs. Laksana raja muda, ia dapat melakukan apa saja tanpa ada yang menghalangi-halanganinya. Luas tanahnya sekitar 9.000 bahu dengan jumlah penduduk 15 ribu jiwa.
Seperti banyak dilakukan para tuan tanah kala itu, para petani dikenakan pajak yang tinggi, kerja kompenian (kerja bakti) yang tidak sesuai dengan perjanjian. Tuan tanah dengan enaknya dapat merampas rumah dan ternak para petani kalau mereka tidak membayar cuke (pajak) atau hutan pada waktunya.
Melihat kekejaman itu, Arpan tidak dapat lagi tinggal diam. Petani yang tidak berpendidikan, tapi rupanya sangat berpengaruh pada masyarakatnya itu, melakukan perlawanan. Para penduduk pun percaya Arpan adalah seorang Imam Mahdi, yang diutus untuk membela nasib mereka. 'Sang Mahdi' ini dibantu oleh pemuka masyarakat lainnya, yakni Mohammad Idris yang bergelar panembahan --gelar yang umumnya digunakan tokoh aliran mistik di Jawa Tengah.
Akibat praktik-praktik yang tidak manusiawi dari tuan tanah dan aparatnya, penduduk menyingkir dari tanah partikulir. Di samping 2.000 petani, para buruh tani di perkebunan kopi mulai menolak untuk bekerja.
Termasuk panembahan Mohamad Idris yang berpindah-pindah dari Gunung Salek ke Sukabumi dan akhirnya kembali ke Ciomas. Sebagai 'panembahan' ia memiliki cukup kharisma sehingga para pelarian makin banyak bergabung dengannya. Dan, perjuangan melawan tuan tanah pun dikobarkan.
Tapi, sebelumnya, Arpan 'sang Mahdi', bersama para pengikutnya bergerak untuk membalas kematian Camat Ciomas Haji Abdurakhim pada Februari 1886, sayangnya gerakan itu kandas oleh polisi setempat sehingga ia dan para pengikutnya harus menyingkir ke Pasir Paok.
Sementara, sang penembahan Mohammad Idris dengan para pengikutnya pada 19 Mei 1886 mulai bergerak di selatan Ciomas. Gudang-gudang yang terdapat di Sukabumi, Gadok, dan Warongloa, sama sekali tidak disentuh. Sebab tujuan mereka hanya memusnahkan tuan tanah.
Ketika keesokan harinya berlangsung upacara sedekah bumi di Gadok, Bogor, Mohammad Idris menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ketika keramaian sedang memuncak dengan tari-tarian dan gamelan, ia bersama para pengikutnya mulai bertindak. Tidak kurang dari 70 orang dibunuh dan sekitar 70 orang lainnya menderita luka-luka parah --mereka adalah para pegawai tuan tanah. Namun, tuan tanah yang tidak hadir pada kesempatan itu dapat menyelamatkan diri bersama keluarganya.