Senin 05 Jun 2017 07:00 WIB

Kasim-Kasim Kekaisaran Cina Wajib Dikebiri, Ini Alasannya

Hukuman kebiri (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Hukuman kebiri (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Saat Amerika Serikat dan negara-negara Barat dilanda krisis ekonomi, Republik Rakyat Cina menjadi kekuatan ekonomi yang paling diperhitungkan di dunia. Negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa (terbanyak di dunia) itu tertinggi pertumbuhan ekonominya.

Padahal, sampai menjelang 1980-an, Cina masih terisolir. Di PBB, Cina diwakili Taiwan -- satu di antara lima negara yang punya hak veto. Tidak heran, ketika Bung Karno mengumumkan Indonesia keluar dari PBB, RR Cina menjadi pendukung utamanya.

Ketika terjadi G30S yang melibatkan kelompok kiri, perwakilan-perwakilan Cina di Indonesia jadi bulan-bulanan demo. Bahkan Kedubes RRC di Glodok --kini jadi pertokoan-- dibakar massa. Sejumlah tokoh kiri mengasingkan diri ke Cina dan tidak berani pulang ke Indonesia ketika terjadi G30S. Mereka berada negeri tirai bambu itu sambil menghadiri perayaan ulang tahun RRC, 1 Oktober 1965.

Ketika Bung Karno dijatuhkan dan kemudian Pak Harto memulihkan hubungan dengan Malaysia, Radio Peking (sebutan Beijing ketika itu), setiap hari memuntahkan kecaman terhadap Indonesia yang dikatakan bekerja sama dengan Nekolim --istilah yang dipopulerkan Bung Karno.

Di Batavia, jauh sebelum kedatangan VOC (1619), sudah terdapat perkampungan Cina. Letaknya bukan di Glodok melainkan di Prinsenstraat (kini Jl Cengkeh) di dekat terminal angkutan Jakarta Kota.

Jumlah mereka bertambah banyak ketika atas bujukan Gubernur Jenderal JP Coen orang-orang Cina di wilayah Kesultanan Banten hengkang ke Batavia. Mereka kemudian dilarang tinggal di dalam benteng Batavia setelah terjadi pemberontakan Cina 1740. Mereka dipindah ke Glodok, tempat sekarang ini.

Orang Cina, menurut sensus abad ke-18, mencapai 30 persen penduduk Batavia. Hampir seluruhnya pria, dan pada tahun-tahun awal mengawini pribumi dan mengambil nyai (gundik). Tapi wanita-wanita beragama Islam enggan berpasangan dengan orang-orang Nasrani dan Budha, karena dilarang agama.

Meski sudah turun temurun, mereka tetap memelihara adat istiadat negeri leluhur, terutama kebaktian. Bagi mereka, menghormati leluhur adalah keharusan sebagai tanda bakti.

Di antara adat istiadat Cina yang mempunyai sejarah ratusan tahun adalah adat mengecilkan kaki dengan jalan mengikatnya sehingga berubah bentuk dan ukurannya menjadi kecil. Kaki yang tidak tumbuh normal dan berbentuk kaki babi dianggap cantik di kalangan atas bangsa Han, mayoritas penduduk daratan Cina. Saking cantiknya, mereka diberi julukan bunga lili emas.

Menurut Prof James Dananjaya dalam buku Folklor Tionghoa, adat kebiasaan itu dimulai wanita penghibur dan wanita dari keraton pada masa permulaan Dinasti Song (960-1279 M). Pada penghujung dinasti tersebut adat kebiasaan mengecilkan kaki telah menyebar luas di antara wanita-wanita anggota keluarga cerdik pandai atau kelas intelektual yang

memerintah Tiongkok.

Pada pertengahan 1940-an, saya masih menemui beberapa wanita tua yang kakinya dikecilkan di sekitar pertokoan Senen, Jakarta Pusat. Mereka tidak dapat berjalan secara normal, bergaya seperti orang merayap-rayap.

Pengecilan kaki dimulai ketika si gadis masih balita, dibungkus ketat dengan sehelai kain panjang. Rasa sakit yang terus dirasakan oleh si gadis baru hilang setelah kakinya berhenti tumbuh.

Anehnya, gadis dengan kaki kecil memiliki kesempatan lebih besar untuk menikah, sehingga gadis-gadis petani juga ikut-ikutan diikat kakinya oleh orang tuanya. Adat kebiasaan ini pada abad ke-19 dan 20 ditentang pemberontak Taiping, kaum nasionalis dan komunis.

Menurut Prof James Dananjaya, adat kastrasi atau pengebirian di Tiongkok pada zaman kekaisaran merupakan suatu institusi. Orang-orang kasim pada masa kekaisaran itu bertugas melayani keluarga bangsawan di kerajaan.

Kisah orang kasim juga banyak kita dapati di kesultanan-kesultanan di Timur Tengah yang bertugas menjaga para harem. Karena kejantanannya sudah dihilangkan, keberadaan orang kasim di tengah para harem tidak akan mengakibatkan terjadinya skandal.

Di Cina, kabar pertama yang menyebutkan orang kasim sebagai faksi besar dalam pemerintahan kaisar adalah dari abad ke-8 SM pada masa Dinasti Zhou. Walaupun demikian, adat kebiasaan kastrasi sudah ada lima atau enam abad sebelumnya, yakni ketika sistem perkawinan di Tiongkok adalah poligami. Hingga kalangan atas masyarakat Cina mulai mengambil banyak istri dan selir.

Musuh-mudah yang tertangkap di medan peperangan, demikian juga para kriminil, seringkali dikastrasi. Mereka kemudian dipekerjakan di harem atau keputrian di istana kekasaran atau istana para pejabat tinggi kekaisaran. Para orang kasim menjaga dan mendidik kerabat wanita serta anak-anak orang penting tersebut. Karena orang kasim tidak bakal lagi memiliki anak, keturunan para bangsawan dapat terjamin kemurniannya.

Pada dinasti-dinasti selanjutnya, ada banyak keluarga miskin yang mengkastrasi putra-putra mereka dengan harapan dapat diterima bekerja di kerajaan. Pada dinasti Han, para kaisar muda yang ingin menonjolkan kekuasaannya terhadap para kerabat dari pihak ibunya, harus menjadikan para orang kasim sebagai sekutunya.

Sejak tahun 166, timbul konflik hebat antara para orang kasim dan para cendekiawan pejabat pemerintahan yang berakhir kemenangan besar orang kasim pada tahun 172. Dan masih banyak kisah-kisah lain tentang pengaruh orang kasim di pemerintahan Tiongkok yang belum terungkap.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement