REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Sampai detik ini, Sungai Ciliwung masih menjadi tempat warga menggantungkan hidupnya. Meski di waktu-waktu tertentu, terutama saat hujan tiba, air yang mengalir di Sungai Ciliwung kerap meluber dan menyebabkan banjir di Jakarta. Namun dalam perjalanannya, Sungai Ciliwung di masa lalu memberikan banyak berkah bagi penduduk.
Sungai yang dijuluki "Got Besar" itu sampai 1960-an masih menjadi tempat favorit ribuan penduduk untuk mengambil wudhu, mandi, mencuci, sampai berbagai hajat keperluan lain. Sungai Ciliwung di Jakarta pada era 1960-an memang masih jernih, tidak seperti sekarang yang hitam dan berbau tak sedap.
Ribuan penduduk Jakarta ketika sungai ini masih jernih dan lebar menggantungkan kehidupannya dari Ciliwung. Ada yang menjadi tukang perahu, pekerja eretan, dan tidak kurang banyaknya yang menjadi tukang binatu.
Parade getek di Sungai Ciliwung
Puluhan tukang binatu tengah mencuci pakaian dan celana di sungai Ciliwung. Lokasinya di Pasar Baru (Jalan Antara) seperti tampak beberapa pertokoan.
Untuk keperluan mencuci ini, pemerintah kolonial Belanda membangun tangga dari tembok, guna memudahkan warga bila ingin mandi ke sungai itu. Sementara di kedua tepi sungai dibangun bandaran untuk meletakkan pakaian.
Sampai akhir tahun 1950-an, masih banyak orang Betawi yang berprofesi sebagai tukang penatu. Dari Jatinegara sampai ke daerah Jakarta Kota. Hingga ada nama jalan di Jakarta bernama Jl Petojo Binatu, Jakarta Pusat. Saking banyaknya orang yang berprofesi sebagai tukang binatu. Maklum ketika itu rakyat umumnya belum mampu menyewa asisten rumah tangga, kecuali orang-orang kaya di rumah-rumah gedung dan warga Belanda.
Di Kwitang, Jakarta Pusat, sampai awal 1960-an juga terdapat beberapa tukang binatu. Yang terkenal adalah Pak Acing, yang kala itu usianya sekitar 50-an tahun dan bertubuh kekar. Sehabis Shalat Subuh Pak Ating sudah berendam di Ciliwung yang berdekatan dengan kediamannya. Tanpa merasa kedinginan, dia mencuci ratusan pakaian hingga pukul 09.00 pagi.
Saat mencuci agar pakaian bersih ia menggunakan bllauy pembersih bewarna biru yang kini sudah tidak ada lagi. Kala itu belum ada deterjen seperti sekarang. Ia mencuci pakaian dengan sabun ‘Tjap Tangan’ sabun paling terkenal ketika itu.
Setelah berendam dan membanting tenaga selama tiga atau empat jam di Ciliwung, Pak Acing dengan dibantu putranya menjemur pakaian-pakaian yang telah dicucinya. Kala itu di Jakarta banyak terdapat lapangan hingga tidak ada masalah untuk menjemur pakaian dalam jumlah besar.
Setelah beristirahat dan Shalat Zhuhur tibalah untuk pekerjaan yang lebih berat lagi. Dia mulai menyerika pakaian-pakaian yang telah kering itu. Bukan menggunakan setrika listrik seperti sekarang. Tetapi alat menyeterika ketika itu untuk memanaskannya masih menggunakan arang.
Setrika Arang Ayam Jago
Sambil memercikkan air di pakaian, supaya licin baju yang akan disetrika diberi tajin. Supaya bersih –baju diklentang– dengan buah mengkudu. Yang menarik untuk membuka dan menutup strika yang harus dipanaskan lebih dulu di bagian atasnya — sebagai pembuka dan penutup — ada lambang ayam jago. Yang sekarang ini mungkin sudah menjadi barang museum.
Kembali pada Pak Acing, dia baru dapat menyelesaikan pekerjaannya menjelang magrib. Dan keesokan harinya rutinitas semacam ini terus dilakukan, tanpa mengenal hari libur.