Sabtu 21 May 2016 10:31 WIB
Runtuhnya Orde Soeharto

Utang Swasta Menggoyang Kursi Soeharto

Mahasiswa melakukan aksi menuntut penurunan harga.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Mahasiswa melakukan aksi menuntut penurunan harga.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Iqbal

Kejatuhan Presiden Soeharto dari kursi panglima tertinggi republik ini per 21 Mei 1998 tak lepas dari sejumlah faktor. Selain dari sisi politik, mau tidak mau, harus diakui bahwa sisi ekonomi yang ditandai oleh krisis pun turut andil. Namun, semua itu tidak berlangsung secara seketika.

Terdapat sejumlah musabab sebelum timbulnya masalah tersebut. Mengacu pada wawancara dengan Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII Fuad Bawazier, 12 Mei 2016, krisis ekonomi yang melanda Tanah Air kala itu berakar dari utang luar negeri swasta. Sampai dengan 1997, Indonesia masih teramat menarik untuk para investor, khususnya pemodal asing.

Maka tak heran, begitu mudah surat utang jangka pendek tentu disertai proposal proyek, memperoleh pendanaan. Pada sisi lain, swasta pun ceroboh lantaran adanya miss match. Mengapa? Sebab, proyek berlangsung jangka panjang, sedangkan utang untuk jangka pendek.

Kondisi pun menjadi double miss match lantaran proyek diharapkan menghasilkan rupiah. Sedangkan utang dalam bentuk dolar AS. Kepercayaan diri swasta ini tak lepas dari stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada kisaran Rp 2.000.

Keyakinan bertambah karena bunga yang disertakan kreditur pun rendah. Namun, kondisi ini bak boomerang. Sebab, utang luar negeri swasta pun membengkak.

“Over exposure,” begitu kata Fuad kala menceritakannya kepada Republika.co.id di kediamannya. Ihwal jumlah utang luar negeri swasta kala itu, jumlahnya disebut Fuad telah melebihi 50 miliar dolar AS. Lalu, bagaimana dengan utang luar negeri pemerintah?

Kala itu, utang pemerintah hanya mencapai 4 miliar dolar AS per tahun. Jumlah minim ini bukan tanpa sebab. Semua tak lepas dari kebijakan Presiden Soeharto yang menegaskan bahwa pinjaman bersifat jangka pendek dan hanya digunakan sebagai pelengkap.

Dari eksternal, perekonomian Asia yang disebut-sebut bakal menjadi roda penggerak ekonomi dunia tiba-tiba goyah. Berawal dari Korea Selatan, kemudian Thailand, negara tetangga Indonesia. Pemerintah Indonesia yang sudah kadung nyaman dengan kestabilan ekonomi selama 30 tahun tetiba kaget.

“Seperti gagap menghadapi situasi krisis. Kayak kurang terlatih,” begitu Fuad menggambarkan masa itu. Dalam kondisi itu, ironisnya pemerintah tidak mempunyai sikap yang solid. Tidak satu suara.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement