Sabtu 21 May 2016 09:31 WIB
Runtuhnya Orde Soeharto

'Bocah Lelaki' yang Menumbangkan Rezim

Reformasi 1998
Foto: dok. Republika
Reformasi 1998

Oleh Fitriyan Zamzami/Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Tahun 1996 bukannya tanpa riak di Indonesia. Situasi politik menghangat menyusul gejolak di tubuh PDI dan persiapan menuju Pemilu 1997. Ketika tahun baru terbit, laut seperti tertular.

Pada Januari 1997, sejumlah satelit pengindra cuaca menangkap ada yang tak biasa di bagian barat Samudra Pasifik. Saat dicitrakan, pindaian rerupa satelit menunjukkan sebuah noktah merah di perairan timur laut Pulau Papua.

Warna merah itu menandakan apa yang disebut ilmuwan sebagai “Kolam Panas”, untuk menggambarkan wilayah permukaan laut yang menghangat. Oleh para nelayan Amerika Selatan masa lampau, fenomena itu disebut “El Nino” alias "Bocah Lelaki” merujuk masa munculnya yang tak berselang lama dari tanggal kelahiran Isa Almasih menurut keyakinan umat Kristiani. 

Scripps Institute of Oceanography (SIO) mencatat, penghangatan suhu mulanya sebesar 3 derajat selsius di atas normal. Kian kemari, noktah bergerak, dan melebar. Pada Mei 1997, ia sudah mengular hingga kawasan perairan Amerika Selatan. Kenaikan suhu juga terus meningkat mencapai 7 derajat selsius dari suhu normal.

Edvin Aldrian masih seorang pemuda berusia 28 tahun saat fenomena tersebut terpindai. Ia saat itu adalah staf di Unit Teknologi Modifikasi Cuaca pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sembari mengejar gelar master  di Universitas Nagoya, Jepang.

Menurut Edvin yang kini menjabat sebagai kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), El Nino saat itu termasuk yang paling akbar dalam sejarah pencatatan cuaca. El Nino biasanya menyebabkan rerata kenaikan suhu udara Bumi pada angka 0,25 derajat selsius. Pada 1997, kenaikan yang ia picu mencapai 1,5 derajat selsius.

Edvin ingat, turut mengamati Kolam Panas yang mula-mula muncul di utara Papua. Dari Papua, Kolam Panas bergerak dan melebar ke Pasifik Tengah. Pergerakan itu, dalam analisis Edvin menjadikan sebagian wilayah Indonesia sebagai areal yang paling terdampak. 

Penghangatan suhu laut memengaruhi serapan air pembentuk awan hujan dan akhirnya mengganggu siklus musim. “Memang di kita pusatnya,” kata satu dari sedikit saja profesor riset asal Indonesia itu saat dihubungi Republika.co.id beberapa waktu lalu. 

Pindaian Kolam Panas saat mula-mula muncul di perairan Papua, Januari 1997 (Sumber: meteora.ucsd.edu)

Di sebagian besar daratan Tanah Air, dampak El Nino saat itu mematikan baik bagi tanaman maupun manusia-manusia diatasnya. Penelitian Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) yang dilakukan bersama BMG, Kementerian Pertanian, serta BPPT pada awal milenium menggambarkan, pemantauan dari seluruh stasiun cuaca di Indonesia menunjukan penurunan curah hujan.

Sebanyak 13 dari 33 stasiun bahkan menunjukkan curah hujan paling rendah sepanjang sejarah. Hanya Sumatra Utara dan Biak, Papua, yang curah hujannya mendekati normal.

Kekeringan tersebut mencapai puncaknya pada September-November 1997. Ujung-ujungnya, ia memicu penundaan masa tanam padi. Banyak daerah baru bisa menanam pada bulan Desember, atau sekira dua bulan lebih lambat dari waktu tanam normal. Sementara kekeringan pada April hingga September 1997 telah memangkas area panen seluas 380 ribu hektare atau 3,4 persen lebih rendah dari masa panen sebelumnya.

Selain itu, petani juga mengganti produksi padi dengan menanam jagung di areal seluas 266 ribu hektare atau meningkat 8 persen dari masa tanam sebelumnya. “Para petani juga terganggu ekonominya dan diarahkan jadi pekerja infrastruktur,” kisah Edvin.

Berkurangnya produksi padi tersebut kemudian memaksa pemerintah mengimpor lima juta ton beras untuk menjaga harga dan menjamin ketersediaan pangan untuk rakyat miskin. Impor beras dengan jumlah tersebut bukan sedikit, terlebih ia dilakukan oleh rezim yang sempat menjadikan swasembada pangan sebagai salah satu jualan utamanya.

Apesnya lagi, kekeringan parah tersebut terjadi berbarengan dengan krisis finansial Asia Tenggara pada pertengahan 1997. Kombinasi gagal panen dan kelambatan tanam serta krisis finansial kemudian memicu kenaikan harga beras mencapai 300 persen.

Antrian beras mengular di mana-mana.  Yang punya uang menimbun persediaan, yang tak berpunya pasrah menunggu jatah beras miskin dan operasi pasar yang biasanya lekas ludes.

Kelambanan Pemerintah

Catatan pemberitaan Harian Republika dari masa-masa itu menunjukkan, ada kelambanan pemerintah mengantisipasi dampak Elnino. Ancaman kekeringan terhadap produksi pangan sejatinya sudah terendus sejak Juli 1997. Menyusul gagal panen di Pantura Jawa Barat, BMKG (saat itu BMG) sudah memprediksi perpanjangan musim kemarau.

Agustus 1997, Presiden Soeharto juga sempat meminta masyarakat bersiap-siap menghadapi masa paceklik karena hujan diperkirakan baru turun sekitar November hingga Desember 1997. Bagaimanapun, pemerintah selalu menekankan bahwa stok beras cukup.

Pada September, harga-harga mulai naik, laporan kekurangan beras diberbagai daerah mulai mencuat. Di sejumlah daerah di Jawa dan Sumatra, masyarakat mulai menkonsumsi tiwul dan nasi aking untuk menyiasati langkanya beras.

Di Jayawijaya, Papua, 250 lebih warga mati kelaparan karena kekeringan membuat umbi-umbian tak tumbuh. Sementara kabut asap dari kebakaran hutan yang juga dikipasi El Nino menghambat pengiriman beras ke sejumlah daerah.

Namun pada November 1997, Presiden Soeharto kembali mengecilkan keadaan tersebut. ''Ini bukan berarti kekurangan pangan, tetapi memang menunya demikian. Karena itu yang penting adalah kita tingkatkan agar gizinya meningkat,'' kata Presiden menanggapi laporan soal warga yang mulai mengganti beras dengan tiwul dan aking. Kebijakan impor beras baru mulai digencarkan Bulog pada Desember 1997.

Kenaikan harga beras, juga barang-barang pokok lainnya akhirnya jadi kegeraman masyarakat yang ikut memicu ketakpuasan terhadap rezim saat itu. Ketika gerakan politik menuju reformasi kemudian bergulir, rakyat dengan sukarela berdiri di belakangnya.

Pada masa-masa suram di 1997,  Sutarto Alimoeso sedianya jauh dari titik-titik kelam. Ia masih menjabat sebagai kepala dinas di Kalimantan, daerah yang relatif aman dari kelangkaan pangan. 

Namun pada 1998, ia digeser ke mata badai. Ia saat itu ditunjuk untuk mengisi posisi dirjen Perlindungan Tanaman Pangan yang salah satu tugasnya mengawasi gangguan iklim terhadap produksi pangan. Ia ikut dalam tim yang nantinya menerbitkan jurnal ADPC soal El Nino 1997-1998 di Indonesia. Jurnal itu belakangan jadi rujukan buat mitigasi bencana kekeringan di Indonesia.

Menurut Sutarto, dampak El Nino sedianya tak hanya menghantam Indonesia. Ia juga meluas sampai Cina, India, dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Hanya saja, rasio cadangan beras Indonesia terhadap jumlah penduduk tergolong yang paling kecil saat itu. 

Saat cadangan yang tipis itu diganggu kekeringan panjang, pemerintah kelabakan. "Gerakan politik menuju reformasi memang sudah lama dirancang. Tapi mungkin gangguan produksi pangan yang disebabkan kekeringan dan El Nino ikut jadi salah satu faktor pendorongnya," kata mantan direktur utama Perum Bulog tersebut kepada Republika.co.id

Ibnu Khaldun, leluhurnya para sejarahwan, pada 1377 menulis dalam magnum opus-nya, Mukaddimah, bahwa cuaca punya peran besar memengaruhi peradaban. Apa yang terjadi di Indonesia sepanjang 1997-1998 sedikit-banyak menkonfirmasi teori tersebut. Saat cuaca dan dampaknya berkelindan dengan situasi politik tertentu, perubahan sulit dihindari.

Yang mulanya sekutip noktah merah di ujung Papua pada awal 1997 ternyata meraksasa jadi anasir yang punya kekuatan signifikan untuk ikut mengubah arah pergerakan zaman. n

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement