Kamis 23 Nov 2017 06:31 WIB

Aliran Kepercayaan Jadi Alat Politik Orde Lama Hingga Orde Baru

Penganut kepercayaan Sunda Wiwitan menyaksikan sidang dengan agenda pembacaan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11).
Foto: Kaskus
Dewi Kanti Setianingsih menunjukkan KTP-nya yang kolom agamanya dikosongkan karena dia seorang penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah, wartawan Republika

Ketika Jepang masuk 1942, Nippon merangkul kelompok Islam dan menindas kelompok adat/aliran kepercayaan. Karena kelompok ini sebelumnya dianggap menjadi aliansi kolonial Belanda setelah dipisahkan secara sosial dari kelompok agama atau santri.

Baca: Ada Snouck Hurgronje di Pemisahan Agama dan Kepercayaan?

Ketika masa kemerdekaan posisi aliran kepercayaan menjadi perbincangan yang cukup kuat antara para perumus konstitusi, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) saat itu. Dosen Pengajar Agama dan Budaya Lokal, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Samsul Maarif menilai dari sinilah kuatnya tarik-tarikan posisi antara agama dan aliran kepercayaan dalam aturan bernegara di Indonesia.

Kelompok agama diperjuangkan oleh kalangan santri, sedangkan aliran kepercayaan merupakan tuntutan dari kelompok abangan atau nasionalis saat itu. Ada beberapa perdebatan. Di antaranya ketika agama diusulkan harus diatur oleh negara dan tidak bisa lagi ditolak.

Kelompok pengusung aliran kepercayaan tidak ingin negara masuk dalam urusan agama. Karena mereka khawatir masuknya agama ke aturan negara akan menekan penganut kepercayaan.

Namun karena agama akhirnya diatur oleh negara, mereka pun mendesak perlunya negara mengatur urusan aliran kepercayaan. Penghayat penganut kepercayaan berharap negara mengakomodir aliran keyakinan/agama adat seperti agama diakui negara. Dari saat itu dalam perjalanannya dua kata 'agama' dan 'kepercayaan' akhirnya diakomodir negara dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2, 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'.

Dalam perjalanan sejarah, tidak lama setelah konstitusi dibentuk, kemerdekaan dideklarasikan dibuatlah Departemen Agama (Kementerian Agama.red). Sejarawan melihat dibentuknya Departemen Agama enam bulan setelah Indonesia merdeka, memang ditujukan untuk kepentingan kelompok agama dalam hal ini santri. Karena mereka yang menuntut adanya Departemen Agama adalah kelompok Islam yang kecewa ditolaknya Piagam Jakarta saat itu.

Dibentuknya Departemen Agama ini konteksnya sekaligus menjadi alat untuk mengendalikan negara agar tidak terlalu sekuler bersama kelompok abangan.

"Soal definisi agama yang diusulkan oleh Departemen Agama pada 1950-an, elemennya harus ada Nabi atau sosok yang ditokohkan, kitab suci, konsep ketuhanan dan komunitas internasional," jelas Samsul.

Definisi ini sangat membatasi kategori agama, sehingga aliran kepercayaan sulit untuk menjadi bagian dari elemen tersebut. Pengkategorian ini jelas sekali bukanlah untuk aliran kepercayaan atau aliran kebatinan yang ada di Indonesia. Karena mereka tidak memiliki komunitas internasional. Definisi ini tidak pernah diterima kelompok aliran kepercayaan, namun sangat diterima masyarakat yang beragama khususnya lima agama yang diakui pemerintah saat itu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement