REPUBLIKA.CO.ID, Perang Jawa sudah usai, begitu pula sosok penting di dalamnya, Pangeran Diponegoro. Di era pergerakan nasional, pahlawan yang memiliki nama kecil Bendoro Raden Mas Mustahar itu telah tiada. Akan tetapi, 'tabuh genderang' antikolonialisme yang lahir dari dirinya ternyata masih hidup.
Semula tak banyak diketahui mengenai sejauh mana orang Jawa mengingat sosok Pangeran Diponegoro. Hal ini lebih tepatnya saat berada di akhir abad ke-19. "Itu memang tidak dicatat atau didokumentasikan dalam surat kabar dan arsip kolonial," kata Sejarawan Peter Carey kepada Republika.co.id.
Pandangan masyarakat Jawa terhadap Pangeran Diponegoro mulai terkuak di awal masa kebangkitan nasional. Organisasi Budi Utomo pada Mei 1908 memandang Diponegoro sebagai tokoh penting. Dia dianggap sebagai pemimpin anti-kolonial yang telah memberi semangat kepada gerakan nasionalis.
Di mata Budi Utomo, pahlawan Perang Jawa itu telah menjadi teladan dan inspirasi bagi tokoh pegerakan. Hal ini terutama pada cara kepemimpinannya. Budi Utomo menilai kepedulian Diponegoro pada rakyat kecil telah mampu mengguncang hati para nasionalis.
Menurut Peter, Pangeran Diponegoro telah dijadikan sosok pahlawan bagi para pelopor pergerakan bangsa. Anggapan ini terus menguat antara Mei 1908 hingga kekuasaan Hindia Belanda direbut Jepang. Tak hanya kaum nasionalis, Pengeran Diponegoro ini juga diteladani oleh para komunis dan umat Islam.
"Yang tiga-tiganya (nasionalisme, komunisme dan Islam) memotori zaman kebangkitan nasional," jelas YAD Adjunct Profesor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) ini.
Nama Pangeran Diponegoro mulai masuk untuk pertama kalinya di ranah politik nasionalis Indonesia sekitar Maret 1913. Lebih tepatnya saat pelaksanaan Kongres Insulinde di Semarang. Di sini, Mr. Rijken dari Meester Cornelis (kini Jatinegara) menegaskan akhir riwayat Diponegoro dalam pidatonya.
"Menurutnya, Diponegoro tidak dikalahkan oleh Belanda, tapi ditipu dan dijebak," kata Peter.
Lima tahun kemudian, lukisan Diponegoro ditampilkan pada Kongres Insulinde di Bandung. Potret Sang Pangeran menghiasi dinding belakang gedung pertemuan. Di sisi depan, turut ditempatkan potret dari pendiri Insulinde, E.F.E. Douwes Dekker (1879-1950).
Sosok Diponegoro sebagai ‘pahlawan rakyat’ dikembangkan lebih lanjut oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca-1917. Pada waktu itu, PKI masih bernama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) atau Persatuan Sosial-Demokrat Hindia Belanda. Organisasi ini dirintis dan diketuai oleh Henk Sneevliet (1883-1942).
Sekitar 19 Maret 1917, Sneevliet pernah menulis sebuah artikel mengenai Revolusi Rusia di koran De Indier. Di media tersebut, dia menulis bagaimana pandangannya tentang Pangeran Diponegoro. Menurutnya, masyarakat Jawa harus mengadopsi Diponegoro sebagai teladan yang ideal.
Sneevliet menilai, Diponegoro sebagai orang yang sangat istimewa. Sebab, ia merupakan bangsawan yang peduli terhadap hak-hak rakyat kecil. Apalagi setelah masanya tidak ada orang Jawa lain yang mengikuti jejak Sang Pangeran.
Rasa hormat dan kagum terhadap Diponegoro juga muncul dari pendiri gerakan Taman Siswa, Suwardi Suryoningrat. Pria yang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara ini turut menulis sosok Diponegoro di salah satu surat terbukanya pada 1923. Dia meminta seluruh masyarakat untuk memperingati hari wafat Diponegoro dengan mengheningkan cipta.
Pengaruh Pangeran Diponegoro semakin terlihat pada ujung 1920-an. Lebih tepatnya saat pelaksanaan pertemuan organisasi pemuda Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Pemoeda Indonesia di Yogyakarta. Di kegiatan ini, seorang guru muda perempuan dari Taman Siswa Sekolah, Soenariati berbicara tentang Diponegoro.
Peter menjelaskan, sosok guru muda itu mencoba mengingatkan publik bahwa Indonesia telah berada di bawah kekuasaan asing selama beratus-ratus tahun. Untuk itu, Soenariati mendorong rakyat agar berjuang untuk memerdekakan diri. "'Seperti Diponegoro, kita harus berjuang selangkah demi selangkah, tapi secepat mungkin, untuk mencapai tujuan kita'," kata Peter menjelaskan pidato Soenariati.
Semenjak itu, Diponegoro terus dielu-elukan oleh semua elemen gerakan. Tidak hanya kaum nasional, tapi juga dilakukan oleh para komunis dan umat Islam. Pangeran Diponegoro telah dianggap sebagai contoh nasional dan teladan utama pejuang kemerdekaan.
Potret Diponegoro juga sudah mulai dijual di pasar. Pemasaran potret ini bertujuan agar dapat dipasang di dinding di dalam ruang keluarga orang biasa. Indoktrinasi yang terus menerus ini, kata Peter, terbukti sukses.
Bukti sukses indoktrinasi Diponegoro terlihat pada salah satu laporan media Sumatra Post edisi 26 September 1928. Guru dari sebuah sekolah dasar di Jawa Barat menghasut protes yang keras dari anak-anak ketika ia mengikuti kurikulum Belanda. Di kurikulum itu disebutkan Diponegoro sebagai seorang “pemberontak yang tidak setia".
"Untuk anak-anak, Diponegoro sudah menjadi pahlawan dari diri mereka sendiri, sosok positif untuk diidentifikasi," tegas Peter.
Secara keseluruhan, begitu banyak organisasi dan tokoh pergerakan bangsa yang terinspirasi dari Pangeran Diponegoro. Mereka telah meminta seluruh elemen dan pengikutnya agar bertindak dengan semangat seperti Diponegoro. "Diponegoro sebagai pahlawan nasional adalah penemuan awal nasionalis Indonesia," jelas pria yang telah meneliti Pangeran Diponegoro selama 30 tahun tersebut.
Penghormatan dan kekaguman terhadap Diponegoro juga tidak hanya terjadi selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sepanjang tahun-tahun pertama Indonesia merdeka, pemujaan ini tetap dijaga hidup oleh Presiden Seokarno. Bahkan, ia memerintahkan untuk membuat banyak potret Diponegoro dan pahlawan nasional lainnya dari seniman terkemuka.